Mohon tunggu...
Syarif Nurhidayat
Syarif Nurhidayat Mohon Tunggu... Dosen - Manusia yang selalu terbangun ketika tidak tidur

Manusia hidup harus dengan kemanusiaannya

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Empati dan Ketulusan

6 Desember 2020   05:11 Diperbarui: 6 Desember 2020   05:16 170
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Empati merupakan sikap sosial. Ia perlu diwujudkan agar sikap sosial ini tidak mubadzir. Karena empati ini sikap sosial, ia seperti sandiwara. Karena tujuannya adalah untuk mewujudkan keseimbangan dan pemulihan kepada pihak lain. Maka tidak masalah ketika perilaku empati itu dibarengi dengan kepura-puraan. Berbeda dengan doa. Doa tidak harus disampaikan langsung dihadapan orang yang didoakan. Kita bisa memilih untuk mendoakan seseorang diam-diam. Justru ini yang diajarkan kaum beragama. Doa tidak boleh diliputi kepura-puraan. Doa mensyaratkan kehadiran hati dan berharap tulus kepada Tuhan semesta.

Orang yang tidak bersikap empati bukan berarti mereka adalah orang yang buruk atau jahat. Karena bagi orang yang sulit berpura-pura, menunjukkan sikap empati bukan perkara mudah. Empati yang tulus itu lahir dari hati. Jika hati tidak tersentuh maka empati yang muncul adalah sandiwara. Dan dalam konteks sosial, kita sering dituntut untuk pandai bersandiwara. Namun, bagi sebagian orang, yang rasionalitasnya mendahului suara hati, atau suara hati sering hanya dijadikan tempat konsultasi jika rasio sudah mentok, bersikap empati tidak mudah. Ada banyak alasan rasional untuk tidak perlu menunjukkan sikap tersebut.

Misalnya, jika ada orang sedang mendapatkan kesusahan, sikap yang baik bagi kita pada umumnya adalah menghibur. Namun bagaimana jika kita mendekati dengan rasional? Pada prinsipnya semua orang akan bertanggungjawab atas perbuatannya masing-masing. Bahkan seorang yag difitnah, tidak harus dikasihani. Ketika kita melihat secara objektif yang bersangkutan sebagai tokoh publik, banyak pesaing, bahkan musuh, maka ketika terjadi fitnah, bukan sikap empati berupa mengkasihani, tetapi secara rasional memberikan bantuan, yang bisa jadi tidak perlu menunjukkan kata-kata bernada empati sekalipun.

Ketika orang yang jalan-jalan kemudian tiba-tiba ada kucing lewat, dia melompat dan terpeleset jatuh. Dia akan bangun dan berjalan kembali. Dia bukan memperoleh kejatuhan, melainkan mendapatkan ilmu, nanti jika ada kucing atau sejenisnya tiba-tiba lewat, dia tidak perlu melompat sedemikian rupa, sehingga dia tidak perlu untuk terjatuh kembali untuk kedua kalinya.

Ada sedemikian banyak dimensi dalam kehidupan ini, yang kita tidak perlu berusaha memenuhi semua tuntutan luar. Tidak ada yang mengetahui perdebatan seru dalam pikiran dan jiwa seseorang. Mungkin secara kasat mata, seseorang tampak tenang, diam, dan damai. Siapa yang bisa jamin, pikiran dan hatinya demikian juga.

Namun, kehidupan manusia sebagai mahluk sosial, menjadikan ada rumusan tertentu yang sebaiknya dipenuhi, semestinya dipenuhi, dan seharusnya dipenuhi serta sekian daftar perilaku atau sikap yang harus dihindari dan haram untuk dilakukan. Semua itu diukur dari standar nilai baik secara umum yang tentu saja disandarkan juga pada ekspresi yang muncul dan terlihat kasat mata.

Ketika ada pertemuan warga, seorang warga yang baik adalah datang dalam pertemuan, jika pengurus maka dia harus bersikap aktif. Tidak perduli seseorang hadir dengan kesadaran atau karena keterpaksaan, semua dipandang baik dan memiliki tanggungjawab sosial yang sama. Semua itu karena sebagai manusia kita hanya bisa memberikan skor nilai dari apa yang tampak.

Pada akhirnya, Tuhan sajalah yang memiliki alat ukur terdalam. Siapa yang terbaik diantara kalian semua? Yaitu orang yang paling bertaqwa. Bukan yang selalu muncul dalam tiap pertemuan warga, bukan yang selalu muncul dalam kegiatan sosial, bukan pula yang paling baik di mata manusia kebanyakan, namun orang yang baik di mata Tuhan. Dimana mata Tuhan mampu menembus ke dalam relung jiwa paling dalam, dan menilai pada tahap hakekat, bukan sekedar ekspresi sandiwara dan kepura-puraan. Syarif_Enha@Tegalsari, 6 Desember 2020

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun