Hari Pendidikan Nasional tiap tanggal 2 Mei.
Semua kita pasti tahu, gak ada yang gak tahu. Pendidikan gitu lho. Hafallah dan luar kepala. Ada yang memperingati, ada yang tidak memperingati. Semua kita juga paham, emang masalah pendidikan itu kompleks, kalo gak mau dibilang pelik. Iya gak? Sebagian kalangan melihat pendidikan cuma dari soal gedung dan fasilitas sekolah. Ada juga yang memvonis kualitas guru jadi penentu pendidikan. Buat yang agak kritis, pendidikan selalu dilihat dari aspek materi pembelajaran dan kebijakan. Mau dari mana saja kek, asal buat kebaikan pendidikan kita anggukin aja deh. Setujuuu …
[caption caption="Sumber: Pribadi - Hardiknas"][/caption]
Hardiknas, boleh-boleh saja diperingati. Cuma pertanyaannya, apa sebenarnya makna pendidikan sekarang ini? Apa cuma urusan gedung sekolah. Atau kualitas guru tadi. Atau soal kurikulum dan kebijakan. Emang kompleks kalo ngebahas pendidikan. Bahkan sebagian orang bilang, gak ada habisnya. Iya juga ya, kayak kakek-kakek ompong makan kacang … gak habis-habis hehehe. Maaf ya Kek …
Hardiknas, bukan Hardik Mas…
Ki Hajar Dewantoro yang bilang. Bahwa pendidikan harus mampu menjadi manusia yang memiliki daya jiwa; bertumpu pada cipta, rasa dan karsa. Semua itu berkembang dan berjalan seimbang. Maka pendidikan bukan hanya menekankan pada aspek intelektual semata. Tapi pendidikan harus mampu membangun relasi terhadap dimensi sosial dan budaya. Lagi-lagi, kalo dilihat model ini juga sudah ditampung di Kurtilas alias Kurikulum 2013. Pendidikan yang berbasis karakter. Itulah yang kemudian disebut dengan “Manusia Seutuhnya” dulu kita mengenal istilah MIS, Manusia Indonesia Seutuhnya.
Cuma banyak dari kita, gak tahu kapan saat mengajar, kapan saat mendidik?
Maka penting untuk diketahui, tentang sistem "Pengajaran" dan "Pendidikan" yang harus bersinergi satu sama lain. Pengajaran itu bersifat memerdekakan manusia dari aspek hidup lahiriah, seperti: kemiskinan dan kebodohan. Pendidikan bersifat memerdekakan manusia dari aspek hidup batiniah, seperti: kebebasan berpikir, mengambil keputusan, bermartabat, dan punya mentalitas demokratis.
Karena itu, Paulo Freire, pelopor “pendidikan yang membebaskan” dari Brazil memberi tekanan pada perlunya pendidikan kritis sebagai pijakan. Pendidikan yang seimbang antar satu individu dengan individu lainnya. Agar manusia terhindar dari praktik penindasan. Pendidikan diperlukan sebagai upaya sadar dan nyata untuk membentuk manusia seutuhnya. Pendidikan bukanlah alat untuk “menindas” orang lain.
Tapi sayang beribu sayang, Hardiknas bisa saja menjadi Hardik Mas.
Ketika pendidikan yang tinggi, pendidikan yang memadai dijadikan alat untuk menghardik kaum terdidik satu sama lainnya. Menghardik, mencaci-maki, menjelek-jelekkan orang lain. Hardik Mas, hardik Mbak … begitulah kira-kira. Ketika banyak orang berpendidikan lebih suka menghardik orang yang dianggap lebih rendah pendidikannya. Ketika orang pintar menganggap dirinya lebih baik benar dari orang bodoh.
Hardik Mas, kenapa bukan Hardiknas?
Ketika pendidikan hanya bertumpu pada knowledge, bukan value. Ketika pendidikan menjadi alat untuk “menghakimi” orang lain lewat cara berpikir yang subjektif, membenarkan pikirannya sendiri. Sungguh dalam konteks ini, orang-orang berpendidikan itu "gagal" bukan karena bodoh. Tapi karena mereka kurang cerdas memaknai pendidikan. Pendidikan bagi mereka adalah jenjang struktural. Mulai dari SD, SMP, SMA lau PT. Setelah itu, lebih tinggi lagi, mereka berjuang sekuat tenaga untuk merebut kekuasaan. Dan upaya untuk mempertahankan kekuasaan atau merebut kekuasaan itulah, “Hardiknas” berubah menjadi “Hardik Mas”…
Hardik Mas, bukan Hardiknas.