Mohon tunggu...
Syarif Yunus
Syarif Yunus Mohon Tunggu... Konsultan - Dosen - Penulis - Pegiat Literasi - Konsultan

Dosen Universitas Indraprasta PGRI (Unindra) - Direktur Eksekutif Asosiasi DPLK - Edukator Dana Pensiun - mantan wartawan - Pendiri TBM Lentera Pustaka Bogor - Kandidat Dr. Manajemen Pendidikan Pascasarjana Unpak - Ketua IKA BINDO FBS Univ. Negeri Jakarta (2009 s.d sekarang)), Pengurus IKA UNJ (2017-sekarang). Penulis dan Editor dari 49 buku dan buku JURNALISTIK TERAPAN, Kompetensi Menulis Kreatif, Antologi Cerpen Surti Bukan Perempuan Metropolis. Penasihat Forum TBM Kab. Bogor, Education Specialist GEMA DIDAKTIKA. Salam DAHSYAT nan ciamikk !!

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

In Memoriam Ibu Prof. Dr. Conny Semiawan, Catatan Kecil untuk Sang Guru Teladan

1 Juli 2021   21:11 Diperbarui: 1 Juli 2021   21:28 866
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Innalillahi wainnailaihi roojiiuun. Telah berpulang ke rahmatullah hari ini (1 Juli 2021) Ibu Prof. Dr. Conny Semiawan dalam usia 90 tahun. Seorang tokoh pendidikan Indonesia yang luar biasa. Gurunya ilmu pedagogik, kreativitas dan keberbakatan anak yang patut diteladani. Semoga beliau husnul khotimah dan mendapat terbaik di sisi Allah SWT. Beliau orang baik, seorang guru hebat.

Saya menulis ini untuk kenangan. Sebuah catatan kecil seorang murid untuk gurunya. Tahun 1989, saat saya diterima di IKIP Jakarta (UNJ), Ibu Conny adalah Rektor IKIP Jakarta. Sebagai mahasiswa baru, tentu saya belum mengenalnya. Tapi tiba-tiba, bumi Indonesia heboh akibat lahirnya "Buku Adik Baru" karyanya. Dianggap kontrovesial dan tidak lazim. Ya begitulah adanya.

Kala itu, jadi Rektor perguruan tinggi di ibu kota Jakarta, tentu tidak mudah. Rezimnya masih Pak Harto, Panglima TNI Jenderal Try Sutrisno, bahkan Mendagri Jend (Prun) Rudini. Belum lagi, stok mahasiswa IKIP Jakarta periode Ibu Conny tergolong nakal-nakal Di kampus banyak ulah, di luar kampus pun bertingkah. Adalah bakar-bakar sepatu lars di kampus bertajuk "Rawamangun Berkabung". 

Hingga lakon drama pun di FPBS IKIP Jakarta seperti disengaja mencari naskah yang "menyentil" pemerintah. Tidak mencekam, tapi intel-intel beredar di kampus IKIP Jakarta kental terasa di era Ibu Conny saat menjadi Rektor.

Saya sendiri punya pengalaman. Saat acara Bulan Bahasa HMJ Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, lupa tahun berapa, berniat memanggil sastra terkenal Rendra ke kampus IKIP Jakarta. Setelah pasang spanduk di kampus, langsung dipanggi beliau. Diinvestigasi, maklum saat itu Rendra tergolong "sastrawan kiri". 

Saya katakan Rendra akan ber-orasi, tidak baca puisi. Dan Ibu Conny, hanya mengatakan . "Bila kamu yakin, jalankan. Sekalipun ada risiko. Ibu akan hadir". Dalam hati saya, entah ada pesan apa "dari luar". Sampai-sampai Ibu Rektor harus memanggil panitia cuma soal kegiatan mahasiswa di kampus. Zaman itu, memang agak aneh?

Sekali lagi, zaman itu mahasiswa IKIP Jakarta/UNJ memang nakal-nakal. Makanya banyak yang tidak selesai kuliah 5 tahun. Apalagi yang aktivis. Tapi di tangan Ibu Conny-lah, tradisi akademik di kampus tetap terjaga. Suasana kampus pun tetap kondusif. Ibu Conny bukan hanya sekadar Rektor yang mampu memimpin kampusnya di tengah "lirikan" aparatur. 

Tapi beliau mampu mengayomi dan mendidik mahasiswanya dengan imu pedagodik yang luar biasa. Beliau paham betul, bagaiman mendidik muridnya. Jangankan mahasiswa yang apatis, yang pintar secara akademik. 

Tapi mahasiswa yang "nakal" pun tetap dibimbing dan dilindungi. Di era beliau, mahasiswa kritis dan pendemo -- termasuk dosen -- bukan malah dimusuhi atau "ditenggelamkan" istilah sekarang. Tapi dirangkul, diajak berdiskusi secara intensif. Tujuannya sederhana, agar tercipta iklim akademik dan lingkungan kampus yang kondusif dan kompetitif. Agar sikap kritis yang ada, bernilai tambah bagi kampus bagi kegiatan-kegiatan kampus yang lebih produkktif.

Anak-anak "nakal" itu, istilah saya, biasanya aktivis mahasiswa yang baru bisa kelar kuliah di atas 5 tahun; kerjanya demo-demo dan nongkrong diskusi di kampus hingga larut malam. Jika perlu menginap di kampus. Berbagai kebijakan kampus dikritisi, didemo oleh anak-anak "nakal" ini. Sering kali, mereka berseberangan dengan rektor atau kampus. Tapi sekali lagi, Ibu Conny dengan caranya tetap merangkul. Agar tetap kritis yang elegan dan kompetitif ke luar kampus.        

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun