Mohon tunggu...
Syarif Yunus
Syarif Yunus Mohon Tunggu... Konsultan - Dosen - Penulis - Pegiat Literasi - Konsultan

Dosen Universitas Indraprasta PGRI (Unindra) - Direktur Eksekutif Asosiasi DPLK - Edukator Dana Pensiun - mantan wartawan - Pendiri TBM Lentera Pustaka Bogor - Kandidat Dr. Manajemen Pendidikan Pascasarjana Unpak - Ketua IKA BINDO FBS Univ. Negeri Jakarta (2009 s.d sekarang)), Pengurus IKA UNJ (2017-sekarang). Penulis dan Editor dari 49 buku dan buku JURNALISTIK TERAPAN, Kompetensi Menulis Kreatif, Antologi Cerpen Surti Bukan Perempuan Metropolis. Penasihat Forum TBM Kab. Bogor, Education Specialist GEMA DIDAKTIKA. Salam DAHSYAT nan ciamikk !!

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Literasi Konflik, Bila Tidak Sama Kenapa Tidak Boleh Beda?

27 Februari 2021   06:30 Diperbarui: 27 Februari 2021   06:52 335
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: TBM Lentera Pustaka

Bila ada negeri yang tergolong doyan kisruh, mungkin salah satunya ya Indonesia.

Kisruh, alias berisik dan dibikin ramai. Urusan vaksin Covid-19 dibikin kisruh. Banjir akibat hujan pun jadi rebut. Ada partai memecat kader-nya karena persoalan internal pun jadi ricuh. Bahkan soal Nikita Mirzani pun, negeri ini bisa heboh. Itulah realitas negeri yang doyan kisruh.

"Kalau bisa dipersoalkan, kenapa didiamkan?" mungkin begitu slogan negeri doyan kisruh.

Agak pantas pula. Hasil survei menyebut "Indonesia tergolong negara paling berisik di dunia". Netizen-nya Indonesia bisa jadi paling popular sekaligus paling ganas. Maklum, pengguna media sosial-nya pun sudah menembus angka 160 juta orang. Soal apa saja dibikin berisik. Hoaks dipercaya. Ujaran kebencian disebarkan. Fakta pun dibolak-balik. Gemar kisruh, gemar kebingungan dan kacau balau. Entah, kok gemar pada aktivitas yang tidak bermanfaat. Membuang-buang waktu untuk hal yang sia-sia dan tidak produktif.

Banyak orang lupa. Kisruh, ricuh, dan berisik itulah awal mula konflik terjadi. Akibat berbeda pendapat. Akibat salah menggunakan saluran komunikasi. Akibat gagal mengelola masalah. Hingga akhirnya, semua orang "membenarkan" pikirannya sendiri. Adu argumen sambil mempertontinkan "kepintaran" dan ego di ruang publik. Maka kisruh berubah jadi konflik.

Di negeri kisruh, pada orang-orang doyan konflik. Media sosial bukan digunakan untuk nasihat. Atau promosi kebaikan. Tapi medsos dipakai untuk mempublikasikan emosi dan kebencian. Curcol urusan yang tidak penting. Masalah bukan diselesaikan. Malah di-ekspose ke ruang publik. Aneh, orang-orang itu. Aturan hanya berlaku di atas kertas. Etika hanya berlaku di ruang-ruang religius. Alhasil, setiap perbedaan hanya bisa diselesaikan dengan cara-cara kisruh. Marah-marah, ngotot dan emosi. Entah, di mana benarnya cara-cara itu? Sama sekali tidak literat.

Ini soal literasi kisruh, literasi konflik.

Maaf ya, bukan anti kisruh atau anti konflik. Kisruh itu boleh, konflik pun silakan. Karena kisruh atau konflik bagian dialektika. Sebuah cara untuk memikirkan masalah, cara melihat persoalan. Dinamika untuk menuju perubahan yang baik. Yang penting jangan kisruh karena tidak sika pada orangnya. Jangan ber-konflik untuk perkara yang tidak jelas. Kisruh bukan sensasi tapi esensi. Sehingga siapa pun yang terlibat kisruh, tetap berpijak pada akal sehat dan hati nurani. Dan jangan pernah kisruh untuk mencapai "kesempurnaan". Karena itu tidak mungkin.

Kisruh atau konflik itu wajar. Tapi jangan mempertontonkan ke publik. Apalagi karena sentimen atau rasa benci. Sehingga semua hal diskisruhkan, dipertengkarkan. Kisruh jadi hobby, konflik jadi bahaya laten.

Seperti di taman bacaan. Maka anak-anak pun bukan hanya membaca. Tapi diajarkan untuk bersikap bijak. Saat berebut buku, saat mencari tepat duduk untuk baca. Bisa saja bertengkar atau berselisih. Tapi jangan libatkan emosi atau amarah. Karena esensinya "membaca buku". Bukan berebut atau cari tempat duduknya. Jadi, kisruh atau konflik pun harus literat. Buka nasal kisruh, asal konflik saja.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun