Mohon tunggu...
Syarif Yunus
Syarif Yunus Mohon Tunggu... Konsultan - Dosen - Penulis - Pegiat Literasi - Konsultan

Dosen Universitas Indraprasta PGRI (Unindra) - Direktur Eksekutif Asosiasi DPLK - Edukator Dana Pensiun - mantan wartawan - Pendiri TBM Lentera Pustaka Bogor - Kandidat Dr. Manajemen Pendidikan Pascasarjana Unpak - Ketua IKA BINDO FBS Univ. Negeri Jakarta (2009 s.d sekarang)), Pengurus IKA UNJ (2017-sekarang). Penulis dan Editor dari 49 buku dan buku JURNALISTIK TERAPAN, Kompetensi Menulis Kreatif, Antologi Cerpen Surti Bukan Perempuan Metropolis. Penasihat Forum TBM Kab. Bogor, Education Specialist GEMA DIDAKTIKA. Salam DAHSYAT nan ciamikk !!

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Dengarkan, Jangan Menua untuk Hal yang Tidak Penting

15 Januari 2020   07:57 Diperbarui: 15 Januari 2020   23:32 532
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dengarkan...

Orang zaman now itu aneh. Duduknya pada berdekatan tapi tidak ada yang bicara. Semuanya main gawai. Sekalipun ada yang lagi bicara, tetap saja asyik dengan gawai. Lalu katanya, sambil mendengarkan. Orang-orang yang sibuk sendiri. Tapi buru-buru berucap "sambil mendengarkan". Tapi anehnya, setelah itu omongan orang minta diulang. Tidak mau mendengarkan, tapi minta ulang omongan orang. Gagal mendengar, bukan gagal bayar.

Dengarkan, soal itu baru soal sederhana.

Banjir Jakarta kemarin, bisa jadi karena banyak pejabat atau masyarakat yang gagal mendengar. Sehingga tidak ada upaya yang dilakukan untuk antisipasi. Agar banjir tidak berdampak parah seperti kemarin. Berapa banyak kerugian materil akibat banjir. Sungguh, karena kita gagal mendengar. Terlalu egois untuk tidak mau menerima omongan atau nasehat orang lain.

Gagal mendengar.

Bisa jadi kasus "gagal bayar" yang melilit Jiwasraya pun akibat "gagal mendengar". Menempatkan investasi di saham gorengan pada manajer investasi yang tidak berkualitas. Seharusnya, pasti ada yang menasehati sebelum mengambil keputusan. Tapi bila sudah "kongkalikong", apa mau dikata? Semuanya gagal mendengar. Mungkin gagal mendengar itu pula yang dialami ASABRI.

Cobalah dengarkan.

Memang tidak mudah. Untuk mendengarkan orang lain; menerima obrolan orang lain. Apalagi orang yang derajat dan status sosialnya dianggap lebih rendah dari kita. Orang kota pasti malas mendengarkan orang desa. Orang pintar malas mendengarkan orang bodoh. Orang kaya pun paling malas mendengarkan orang miskin. Itulah  realitas zaman now. Tidak mau lagi mendengarkan. Pintar, kaya, dan modern tapi budaya literasinya rendah.

Dengarkanlah.
Mendengarkan itu berbeda dengan mendengar. Karena saat mendengarkan, kita butuh perhatian dan kesediaan untuk menerima apa yang dikatakan orang lain. Ada kerelaan psikologis saat mendengarkan. Sedangakan mendengar belum tentu mendengarkan. Karena mendengar seringkali hanya basa-basi, tidak ada kesungguhan. Mendengarkan pasti ada kesengajaan, tapi mendengar belum tentu sengaja. Kenapa bisa begitu? Mungkin, karena yang bicara dianggap "lebih rendah" status sosialnya dari kita.

Manusia sering lupa.

Sepintar dan secerdas apa pun orang yang pernah kita lihat, tentu ia punya kekurangan yang kita tidak ketahui. Sebaliknya, "sebodoh" apa pun orang yang pernah kita kenal, percayalah bahwa ia pun punya kelebihan yang mungkin kita tidak tahu dan tidak dipunyai oleh orang lain. Maka dengarkanlah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun