Mohon tunggu...
Syarif Yunus
Syarif Yunus Mohon Tunggu... Konsultan - Dosen - Penulis - Pegiat Literasi - Konsultan

Dosen Universitas Indraprasta PGRI (Unindra) - Direktur Eksekutif Asosiasi DPLK - Edukator Dana Pensiun - Pendiri TBM Lentera Pustaka Bogor - Kandidat Dr. Manajemen Pendidikan Pascasarjana Unpak - Ketua IKA BINDO FBS Univ. Negeri Jakarta (2009 s.d sekarang)), Pengurus IKA UNJ (2017-sekarang). Penulis dan Editor dari 47 buku dan buku JURNALISTIK TERAPAN, Kompetensi Menulis Kreatif, Antologi Cerpen Surti Bukan Perempuan Metropolis. Penasihat Forum TBM Kab. Bogor, Education Specialist GEMA DIDAKTIKA. Salam DAHSYAT nan ciamikk !!

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Anak-anak yang Terpaksa (Renungan Hari Anak Nasional)

23 Juli 2019   06:00 Diperbarui: 23 Juli 2019   06:24 155
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di negeri ini, tiap tanggal 23 Juli diperingati Hari Anak Nasional.

Tapi di saat yang sama, anak-anak Indonesia pun dihadapkan pada ancaman yang tidak sedikit. Hanya gara-gara MOS, siswa SMA Taruna di Palembang meregang nyawa. Kemarin-kemarin, siswa SMP melawan guru di Gresik. Hingga pernikahan di bawah usia, tidak ada lagi yang bisa membendung.

Kekerasan pada anak, perundungan (bully), pernikahan anak, pekerja anak, bahkan pornografi masih mewarnai wajah dunia anak-anak di negeri ini. Salah satu temuan menyebutkan 90 persen anak di Indonesia terpapar pornografi online saat berusia 11 tahun. Akibat maraknya konten pornografi anak via media sosial. Anak-anak Indonesia yang "dipaksa" atau dalam "keterpaksaan".

Suka kasihan pada anak-anak zaman now. Terlalu mudah dan sering "dipaksa" mengikuti kemauan orang yang lebih tua usianya. Dipaksa menuruti keinginan orang tua atau orang yang lebih dewasa. Anak-anak yang "dipaksa". 

Bahwa keberhasilan anak katanya ada di tangan orang tua. Atau anak-anak yang "dipaksa" agar berhasil seperti orang tuanya. Atau anak-anak yang "dipaksa" sukses seperti yang dipikir orang tuanya. Sementara keberhasilan dan kesuksesan orang tua itu sendiri absurd.

Sebutlah hari ini, betapa banyak anak-anak yang "dipaksa" mengikuti metode jitu versi orang tuanya. Anak-anak yang hidup dalambelenggu keterpaksaan. Dan tidak lagi hidup di dunia anak-anak. Anak-anak yang harus ikut ini ikut itu; anak-anak yang berjadwal padat les ini dan les itu. Jam segini begini, jam segitu begitu. Abak-anak yang "dipaksa" berjadwal padat merayap. Tapi sayang, itu semua kehendak orang tua. Bukan kehendak anak.

Kasihan anak-anak zaman now. Hidup di zaman digital, era serba terbuka. Tapi belenggu "keterpaksaan" masih menyelimuti kesehariannya. Anak-anak yang "dipaksa" mengikuti skenario orang tua, anak-anak yang merundung secara batin.

Bisa jadi, hari ini. Anak-anak Indonesia sudah makin jarang ditanya "Nak, kamu ingin apa? Kamu mau bagaimana?

Pertanyaan sederhana yang sulit lagi didapati anak-anak zaman now. Anak-anak yang "takut" bicara atau ber-ekspresi tentang kata hatinya; tentang suara batinnya sendiri. Bukan kata orang tua atau orang-orang dewasa.


Nak, kamu ingin apa?

Anak-anak yang dibolehkan ibunya untuk bermain sebentar saja. Anak-anak yang ingin diperkenankan ayahnya seperti nasehat yang diberikannya. Anak-anak yang ingin orang tanya memperlakukan anaknya apa adanya, seperti potensi dan kemampuan yang ada pada dirinya; bukan seperti anak orang lain.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun