Mohon tunggu...
Syarif Yunus
Syarif Yunus Mohon Tunggu... Konsultan - Dosen - Penulis - Pegiat Literasi - Konsultan

Dosen Universitas Indraprasta PGRI (Unindra) - Direktur Eksekutif Asosiasi DPLK - Edukator Dana Pensiun - mantan wartawan - Pendiri TBM Lentera Pustaka Bogor - Kandidat Dr. Manajemen Pendidikan Pascasarjana Unpak - Ketua IKA BINDO FBS Univ. Negeri Jakarta (2009 s.d sekarang)), Pengurus IKA UNJ (2017-sekarang). Penulis dan Editor dari 49 buku dan buku JURNALISTIK TERAPAN, Kompetensi Menulis Kreatif, Antologi Cerpen Surti Bukan Perempuan Metropolis. Penasihat Forum TBM Kab. Bogor, Education Specialist GEMA DIDAKTIKA. Salam DAHSYAT nan ciamikk !!

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Setelah Fitrah, Mau Apa Lagi?

6 Juni 2019   09:50 Diperbarui: 6 Juni 2019   09:55 39
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Setelah fitrah, kita mau apa lagi?" begitulah pertanyaan adik saya saat silaturahim keluarga kemarin. Maklum, lagi momen Idul Fitri 1440 H.

Pertanyaan sederhana, tapi sulit untuk menjawabnya.

Idul Fitri memang selalu diidentikkan dengan fitrah. Keadaan kembali suci lagi bersih. Insya Allah.

Tapi sayang, sama sekali gak mudah untuk bisa menjaga keadaan suci lagi bersih. Apalagi bagi kita yang terlalu cinta pada kehidupan dunia. Ambisi meraih harta, pangkat, dan jabatan. Hingga mengejar popularitas di dunia maya. Sifat itu semua, kian membutakan hati nurani. Maka hati pun jadi ternodai. Idul Fitri pun hanya sekadar seremoni. Akibat perbedaan politik, berapa banyak orang yang tetap menebar kebencian bahkan memelihara permusuhan. Hingga akhirnya lupa untuk bersyukur, lupa instrospeksi diri.

Jadi, setelah fitrah, kita mau apa lagi? Jawabnya, menjaga hati.

 Sungguh penting, menjaga hati untuk tetap bersih. Apalagi di tengah godaan duniawi dan media sosial. Tidak sedikit kesucian hari Idul Fitri jadi ternodai. Kebersihan jiwa pun dikotori. Hobby mendengarkan gunjingan, gemar memancing obrolan buruk, hingga menebar benci lagi caci-maki. Sungguh, melawan sifat-sifat buruk dan menjaga hati pasti menjadi agenda setelah fitrah yang sangat sulit.

Adalah nyata, bila hari ini banyak orang begitu peduli untuk menjaga dan memelihara wajahnya agar tetap bersih. Wajah yang dipelihara agar selalu cantik atau tampan. Maka, siapapun pasti menjaga wajahnya. Takut terkena sinar matahari yang bisa bikin keriput, maka sunblock atau cream apapun dijadikan solusi. Agar wajah tetap bersih, terhindar dari kotran atau debu jalanan. Bila kita mampu menjaga wajah sebegitu hati-hati, apalagi menjaga hati? Bukankah Allah SWT tidak melihat wajah kita. Tapi bagaimana kita mampu menjaga hati kita? Jadi, lebih penting wajah atau hati?

Setelah fitrah, mau apa lagi?

Jawabnya, menjaga hati. Karena hati ibarat raja. Kebaikan seluruh diri sangat bergantung kepada kebaikan hati. Jika hati baik, maka baiklah hidup. Sebaliknya, jika hati jelek, maka jeleklah hidup. Berapa banyak kendaraan yang kotor segera dibersihkan? Berapa banyak pula pakaian yang ternoda segera dicuci agar kembali bersih? Makah al yang sama pun berlaku untuk hati, harus selalu dijaga untuk bersih dan dibersihkan ketika kotor.

Hati itu ada di dalam dada manusia. Hati memang tidak terlihat secara fisik. Tapi keberadaannya bisa dirasakan oleh setiap orang. Maka hati harus selalu dijaga. Karena hati, hanya ada dua kemungkinan: 1) hati yang sakit dan kotor atau 2) hati yang sehat dan bersih. Karenanya, siapapun harus berani untuk menjauhi segala hal yang dapat mengotori hati.  Hati yang selalu eling dan bebas dari rasa iri, benci, dengki maupun dendam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun