Mohon tunggu...
Syarif Yunus
Syarif Yunus Mohon Tunggu... Konsultan - Dosen - Penulis - Pegiat Literasi - Konsultan

Dosen Universitas Indraprasta PGRI (Unindra) - Direktur Eksekutif Asosiasi DPLK - Edukator Dana Pensiun - Pendiri TBM Lentera Pustaka Bogor - Kandidat Dr. Manajemen Pendidikan Pascasarjana Unpak - Ketua IKA BINDO FBS Univ. Negeri Jakarta (2009 s.d sekarang)), Pengurus IKA UNJ (2017-sekarang). Penulis dan Editor dari 47 buku dan buku JURNALISTIK TERAPAN, Kompetensi Menulis Kreatif, Antologi Cerpen Surti Bukan Perempuan Metropolis. Penasihat Forum TBM Kab. Bogor, Education Specialist GEMA DIDAKTIKA. Salam DAHSYAT nan ciamikk !!

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Tiga Sebab Utama Pekerja Khawatir di Masa Pensiun

26 Februari 2019   08:22 Diperbarui: 26 Februari 2019   08:40 159
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Adalah fakta, tingkat populasi usia lanjut atau pensiunan di Indonesia akan meningkat.

Bahkan diduga, aka nada 48 juta pensiunan di tahun 2035 nanti. Sementara itu, generasi milenial yang ada sekarang sekitar 62 juta orang akan menjadi tumpuan hidup keluarga sekaligus jangkar ekonomi keluarga. Lalu bagaimana keadaan pensiunan di Indonesia nantinya?

Memang, Indonesia akan mengalami era bonus demografi pada tahun 2025--2030. Era yang ditandai dengan dominasi jumlah penduduk usia produktif (17--64 tahun) "lebih besar" dari jumlah penduduk tidak produktif. Tapi patut diwaspadai, era bonus demografi tidak serta merta akan memberikan "bonus" atau keuntungan. Bonus demografi tidak otomatis berdampak positif. Karena syarat utama "bonus" demografi adalah tersedianya pekerjaan bagi penduduk usia produktif, di samping kualitas kesehatan dan pendidikan yang memadai. Dan yang paling penting, di era bonus demografi, setiap orang termasuk pensiunan harus memiliki ketersediaan dana yang cukup untuk membiayai hidupnya sendiri. Bila tidak, maka bonus demografi bisa jadi musibah ketimbang berkah.

Karena faktanya hari ini, masih banyak pekerja yang khawatir akan masa pensiunnya. 

Survei HSBC "Future of Retirement, Bridging the Gap" (2018) menyebutkan ada tiga sebab kekhawatiran pekerja di masa pensiun, yaitu: 1) 86% khawatir hidup tidak nyaman di masa pensiuun, 2) 83% khawatir akan meningkatnya biaya kesehatan di masa pensiun, dan 3) 77% khawatir akan kehabisan dana di masa pensiun.

Kondisi ini pun sesuai dengan hasil riset Global Aging Institut (2018) yang merilis bahwa 73 persen pensiunan di Indonesia mengalami masalah keuangan. Hal ini tentu kontraproduktif dengan usia harapan hidup orang Indonesia yang kini berada di 71 tahun (2017). Kondisi masa pensiun pekerja yang seperti ini, mau tidak mau, akan "menurunkan" kualitas Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia.

Cukup wajar, bila tingkat inklusi keuangan dana pensiun di Indonesia tergolong masih rendah. Hanya 4,6 persen berdasarkan data OJK, Des 2016. Konsekuensinya, sebagian besar pekerja berpotensi mengalami masalah keuangan di masa pensiun dan tidak mampu mempertahankan gaya hidupnya di hari tua.

Pekerja bisa jadi akan semakin khawatri di masa pensiun.

Karena setiap orang, idealnya harus memiliki tingkat penghasilan pensiun (TPP) sebesar 70%-80% dari gaji terakhir di masa pensiunnya. Pendapatan bulanan ideal yang harus dimiliki seseorang pada masa pensiun sebesar 70--80 persen dari gaji terakhir. Bila seorang pekerja bergaji terakhir Rp. 10 juta rupiah, maka saat pensiun buutuh Ro. 7--8 juta per bulan. Agar dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari dan tetap dapat mempertahankan gaya hidupnya.

Pertanyaannya, dari mana tingkat penghasilan pensiun (TPP) itu diperoleh?

Sementara program jaminan hari tua yang bersifat wajib dan imbalan pascakerja dan lainnya, bila dibayarkan secara keseluruhan mungkin hanya mencapai 30 persen. Maka masih ada kekurangan 40--50 persen dari yang dibutuhkan. Maka lagi-lagi, kian banyak pekerja di Indonesia yang khawatir di masa pensiun.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun