Zaman now, mudik itu gak harus punya kampung.
Karena dalam makna yang lebih luas, mudik adalah sebuah perjalanan. Perjalanan dari satu tempat ke tempat lainnya. Dan itu semua, hanya bias dirasakan dan dialami oleh mereka yang melakukan "mudik" alias perjalanan. Intinya, mudik harus asyik, unik lagi ciamik. Karena mudik gak harus punya kampong.
Memang, banyak orang memaknai mudik sebagai aktivitas kembali ke kampung. Artinya, si pemudik sedang merantau dan harus punya kampung. Apakah itu berarti pemudik orang kampung? Seharusnya tidak. Karena sekali lagi, mudik adalah perjalanan psikologis. Pada mudik, ada rasa gembira ada rasa kangen terhadap perjalanan itu sendiri.
Secara etimologis, ternyata kata "mudik" berasal dari Bahasa Jawa Ngoko. Mudik itu singkatan dari "mulih dilik' yang artinya "pulang sebentar". Karena pulang sebentar, maka di situ ada perjalanan. Pun harus dipahami, bahwa mudik sama sekali tidak ada hubungannya dengan lebaran atau idul fitri. Tapi mungkin, karena tradisi atau sibuknya para pemudik maka mereka memanfaatkan momentum lebaran untuk mudik, untuk melakukan perjalanan pulang sebentar.
Ada juga yang mengaitkan mudik dengan kata 'udik' yang berarti kampung, desa sebagai lawan kata dari "kota". Orang kota yang pulang ke kampung, ya bolehlah bila mau dipersepsi seperti itu. Sah-sah saja.
Tradisi mudik, sebenarnya sudah ada sejak zaman kerajaan Majapahit. Saat itu, mereka mudik untuk membersihkan makam para leluhurnya. Tujuannya, untuk meminta keselamatan dalam mencari rezeki. Itulah sedikit sejarah tradisi mudik.
Tapi sekali lagi, zaman now, mudik seharusnya dipahami sebagai "perjalanan". Jadi mudik gak harus punya kampung. Karena faktanya, berapa banyak orang yang merasa tidak punya kampung tapi melakukan perjalanan di momentum lebaran? Atas alasan apapun. Sementara mereka yang punya kampung benar-benar pulang ke kampung halamannya. Sedangkan yang gak punya kampung pun melakukan perjalanan ke tempat wisata, berlibur atau yang lainnya. Intinya toh, mereka melakukan perjalanan. Jadi mudik itu perjalanan. Punya gak punya kampung, boleh mudik.
Mudik tanpa kampung. Asyik, unik lagi ciamik.
Itulah yang saya alami bersama keluarga di momentum lebaran tahun 2018. Saya menyebutnya, perjalanan spiritual. Karena selama 7 hari, untuk kali pertama saya melakukan perjalanan sejauh 1.700 km. Perjalanan dari Jakarta lalu singgah dan bermalam di Gresik -- Surabaya -- Malang -- Madura -- Tuban -- Demak -- Cirebon -- Jakarta. Berangkat menempuh waktu 22 jam melalui jalur TransJawa Cipali dan Tol fungsional, pulang melalui jalur utara Pulau Jawa. Kali pertama nyetir jarak jauh, tapi asyik unik lagi ciamik.
Maka mudik adalah perjalanan. Karena setiap kita pasti punya perjalanan.
Perjalanan selama ada di dunia. Bahkan dunia pun bagian dari perjalanan ke akhirat. Setiap hari pun kita melakukan perjalanan dan matahari serta bulan selalu menjadi saksinya. Karena berapa banyak orang hari ini, enggan melakukan perjalanan tapi ingin cepat sampai tujuan? Ingin segera mencapai tahka dan kekuasaan, tapi sama sekali tidak melakukan dan menikmati perjalanannya.