Mohon tunggu...
M Syarbani Haira
M Syarbani Haira Mohon Tunggu... Jurnalis - Berkarya untuk Bangsa

Pekerja sosial, pernah nyantri di UGM, peneliti demografi dan lingkungan, ngabdi di Universitas NU Kal-Sel

Selanjutnya

Tutup

Film

Kemungkinan Revisi Film "The Santri"

19 September 2019   19:39 Diperbarui: 19 September 2019   23:51 181
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Nahdlatul Ulama, kerap disingkat NU, maknanya "Kebangkitan Ulama". Jami'iyah diniyah (organisasi keagamaan) ini lahir di Surabaya, 31 Desember 1926. Tokoh utama pendirinya, antara lain, Kyai Muhamad Hasyim Asy'ari, dan Kyai Wahab Hasbullah serta sejumlah kyai terkemuka lainnya. Pertarungan antara berdirinya jam'iyah NU, dengan tidak berdirinya ternyata bukan perkara gampang. Perlu waktu lama untuk memastikan berdirinya NU ini. 

Adalah Kyai Wahab Hasbullah orang yang paling getol melakukan silaturahmi dan negoisasi, sehingga NU itu berdiri hingga kini. Kyai Muhammad Hasyim Asy'ari, yang belakangan kerap dipanggil sebagai Hadratus Syekh, sebagai kyai yang sangat berpengaruh, tak serta merta setuju NU itu didirikan. Bolak-balik Kyai Wahab menghadap untuk berkonsultasi, Kyai Hasyim Asy'ari tak langsung mengijinkan pendirian NU.

Baru setelah mempertimbangkan situasi geopolitik di tanah hijaz, Jazirah Arabia, khususnya pasca kekalahan kekhalifahan Turki Utsmany di Astambul (Turkey), serta pengambil alihan kekuasaan di tanah hijaz, dari Raja Syarif Husien ke rezimnya Ibnu Sa'ud pada tahun 1924 (yang hingga kini berkuasa), Hadratus Syekh Kyai Hasyim Asy'ari hatinya pun luluh. 

Itu pun setelah mendapat isyarat dari gurunya Kyai Syaichona Cholil Bangkalan, melalui murid kesayangannya Raden As'ad Syamsul Arifin, Situbondo. Karena tak bisa mendirikan NU, Kyai Wahab sempat mendirikan sejumlah perkumpulan. Perkumpulan yang menjadi cikal bakal berdirinya NU itu seperti Taswirul Afkar (kelompok diskusi), Nahdlatul Wathan (kebangkitan  tanah air), dan Nahdlatu at-Tujar (kebangkitan perekonomian).    

Namun demikian, menurut Chairul Anam, penulis buku Pertumbuhan & Perkembangan NU (1984), ada 3 (tiga) alasan NU harus berdiri. Pertama, karena faktor agama, di mana Islam masih perlu disyiarkan dan disebarluaskan, guna memberikan pencerahan umat, perbaikan pemikiran serta penyebaran agama itu sendiri ke berbagai pelosok nusantara.

Kedua, semangat nasionalisme, di mana kala itu kolonialisme merajalela di hampir semua belahan bumi ini. Terlebih di negara-negara mayoritas Islam, rata-rata berada dalam cengkeraman koloni asing, seperti Inggris, Belanda, Spanyol, Portugal, Francis, Jepang, dsb. Hingga Perang Dunia I meletus awal abad ke-20, kondisi negara-negara muslim sungguh nelongso. Baru setelah Pedang Dunia II berakhir, ada kesempatan bagi negara-negara muslim merdeka. 

Indonesia baru merdeka, setelah Jepang kalah oleh sekutu tahun 1945. Meski Belanda melalui bantuan Inggris kepengen kembali menjajah negeri ini, namun berkat ulama-ulama pesantren yang kompak, kelompok sekutu ini berhasil diusir dari bumi pertiwi. Resolusi Jihad  Kyai Hasyim Asy'ari 22 Oktober 1945, berhasil menggelorakan rakyat banyak melakukan perlawanan. Kini event tersebut ditetapkan sebagai "Hari Santri Nasional".

Ketiga, kontinyuitas faham Ahlussunnah wal-jamaah. Kejadian di jazirah Arab, dengan diambil alihnya Kerajaan Arab dari Syarif Husien oleh Ibnu Sa'ud yang didukung aktivis agama faksi Wahabi, ternyata berdampak signifikan bagi tradisi beragama di jazirah Arab. Keadaan ini tak bisa dibiarkan oleh ulama nusantara, serta ulama-ulama yang sefaham dari seluruh dunia. Akhirnya, mereka pun bak kor untuk berjuang bersama, untuk meneruskan dan melanggengkan ajaran Islam ahlussunnah wal-jamaah (kerap disingkat dengan "aswaja"). 

Ciri Islam ahlussunnah wal-jamaah adalah, dibidang teologi mengikuti Imam Asy'ari dan Al-Maturidi. Bidang fiqh mengikuti Mazahibul Arba'ah, seperti Imam Maliki, Imam Hanafi, Imam Hambali dan Imam Syafi'i. Khusus dibidang tasawuf, mengikuti Imam al Bagdadi dan Imam al Ghazali. 

Dengan cara berpikir seperti ini, maka NU dan kelompok Aswaja umumnya, kerapkali "konflik" pemikiran (bahkan juga dalam praktek beragama) dengan kelompok Islam lainnya, khususnya pada mereka yang kerap mengkampanyekan "Islam kembali ke Al Qur'an dan Al Hadis".

Fenomena Film "The Santri"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun