Mohon tunggu...
M Syarbani Haira
M Syarbani Haira Mohon Tunggu... Jurnalis - Berkarya untuk Bangsa

Pekerja sosial, pernah nyantri di UGM, peneliti demografi dan lingkungan, ngabdi di Universitas NU Kal-Sel

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Revisi KPK Bak Buah Simalakama

15 September 2019   19:14 Diperbarui: 15 September 2019   19:29 108
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Berita media, penilakan dan penyerahan mandat pimpinan KPK pada Jokowi

Meninggalnya Presiden ke-3 RI, Prof BJ Habibi, tak serta merta memberikan kesadaran bagi anak bangsa di negeri ini tentang ketokohannya. Baik sebagai ilmuan, pembuka keran demokrasi, pemikir dunia bidang teknologi kedirgantaraan, pembuka berkembangnya cendekiawan muslim, pengembang ilmu dan teknologi, pembuat pesawat terbang, serta seabreg prestasi lainnya yang bisa panjang sekali jika dibeber satu persatu. 

Berita meninggalnya tokoh dunia ini, dikalahkan oleh 2 info lainnya, masing-masing : pertama, adanya kabut asap yang melanda negeri Indonesia yang disebabkan oleh kebakaran hutan dan lahan (karhutla), dan kedua, penolakan sebagian komisioner KPK, dan 500 karyawannya.

Pada kasus yang pertama - negeri ini kembali ribut memakan korban karena karhutla - Sejumlah pemilik perusahaan kini sudah ada yang ditetapkan sebagai tersangka - Penduduk lokal pun juga terkena dampaknya - Dunia penerbangan pun serta merta menjadi korbannya - Dapat dipastikan dunia ekonomi pun tak bisa menghindarinya - Aparat negara pun ada pula yang dicopot karenanya - Komplek sudah kebakaran hutan dan lahan di negeri kita - setiap tahun memakan korban warganya - Oleh karenanya harus ada ijtihad baru bagi negara - Misal kita tambahkan satu musim yakni musim karhutla - Maka itu jika selama ini hanya masim hujan dan musim panas yang ada - perlu pula diakui adanya musim karhutla - Mirip sekali dengan orang-orang Eropa - Mereka mengakui musim salju sebagai suatu yang niscaya - maka itu tak perlu ada korban pada rakyatnya - Mereka menerimanya seadanya - tanpa pernah ribut-ribut seperti orang-orang kita - seperti gurita di dalam belana ...

Pada kasus yang kedua - rakyat kita pun semakin ribut karena masalah KAPEKA - entah kenapa lembaga rasuah ini sudah dianggap seperti tuhan-nya - yang tak boleh ada sedikit pun untuk dicoba merubahnya - mereka menganggap jika lembaga KPK itu sudah sempurna - maka untuk itu jangan ada yang coba-coba mengotak-atiknya - walau di sisi lain ada kegelisahan pula oleh sebagian rakyat Indonesia - agar lembaga anti rasuah itu bisa bekerja berdasar norma - dan karenanya harus ada upaya untuk memperbaikinya - sayang direspon buruk oleh para pengkritiknya - entah sampai kapan gaya warga negara kita ini bersikap lebih dewasa - siap menerima ide dan gagasan yang bernuansa sempurna - walau bisa saja itu pun berbentuk uji coba - tapi tak serta merta kita selalu menolaknya ...

Ya, akibat dua kasus tersebut diskus konstruktif soal BJ Habibi menjadi tertinggal. Rakyat kebanyakan lebih senang meributkan kasus karhutla dan petaka suka duka kapeka. Trending topic yang muncul kini umumnya masih diseputar keduanya. Media mainstrem, media elektronik, media sosial, bak kor ramai-ramai diwarnai pemberitaan karhutla ini, dan kapeka. Mereka menggugat negara, terlebih presiden Jokowi, yang seolah-olah kehilangan akal sehatnya karena tak konsisten dalam hal pemberantasan korupsi. Kaum akademisi mulai dari kawasan belahan barat, tengah dan timur mengeluarkan beraga statement. Seolah-olah negara sudah mau kiamat. Kaum koruptor dan jamaahnya kini dianggap sudah bergembira ria, karena hasil perjuangannya sudah mencapai puncaknya, disertai kemenangannya. Tak hanya itu, KPK pun juga sudah dianggap diujung kematian. 

Filsafat dan Agama

Memang, keributan soal KPK ini, DPR patut sebagai wadah yang layak kita persalahkan. Mereka kurang membaca moment. Para Wakil Rakyat tersebut memunculkan rancangan perubahan UU KPK menjelang masa khidmatnya akan berakhir. Andai saja setahun sebelumnya mereka memunculkan revisi UU KPK itu, barangkali tingkat resistensinya tidak sedahsyat seperti sekarang. Walau tak ada jaminan, rakyat kita akan diam juga. Bagaimanapun, lembaga anti rasuah ini sudah ada yang menganggapnya seperti barang yang sakral, yang tak bisa diutak-atik oleh siapapun. Tetapi dengan lebih awal mempublishnya, psikologinya tak sedahsyat seperti sekarang.

Protes muncul selain masa khidmatnya akan segera berakhir, kerja tim seleksi pimpinan KPK pun sudah memperlihatkan hasil. Sejumlah nama yang tadinya ikut bertarung, berguguran satu per satu. Menariknya, ada figur yang layak dijadikan tumbal keributan, yakni masuknya Irjen Pol Firli Bahuri. Perwira polisi ini dituding pernah melanggar etika, ketika yang bersangkutan pernah bekerja sebagai salah satu divisi di KPK. Karena itu, menjelang ditetapkannya pimpinan baru KPK di DPR RI muncul mosi dan penolakan dari 500 karyawan KPK. Tak hanya itu, pimpinan KPK pun melakukan jumpa pers terbuka membongkar pelanggaran etik yang dilakukan perwira tersebut. Sayangnya ini tak dilakukan dari awal, justru setelah dipenghujung tim seleksi bekerja.

Ujungnya, Jokowi lah yang jadi sasaran. Dimulai penyerahan mandat oleh pimpinan KPK kepada Presiden RI itu tentang nasib KPK, demo yang berlangsung di banyak tempat, pemasangan kain hitam  pada logo dan halaman kantor KPK, serta pernyataan korektif dari berbagai aktivis anti rasuah di berbagai perguruan tinggi. Mereka minta Jokowi selaku Presiden RI bersikap tegas, khususnya terkait dengan usaha DPR RI merevisi UU KPK. Mereka bahkan menuding Jokowi tak konsisten.

Jokowi sendiri sudah bersikap. Bahkan dia pun menolak 4 point usulan DPR yang dianggapnya melemahkan KPK. Jokowi pun berupaya meyakinkan banyak pihak bahwa dirinya berkomitment untuk selalu menguatkan KPK. Revisi itu salah satu di antaranya. Dukungan revisi itu datang pula dari banyak pihak, pegiat anti rasuah, NGO dan sebagainya. Pakar korupsi di sejumlah perguruan tinggi pun lantang mendatangnya, seperti Prof Romli Atmasasmita, Prof Indriyanto Seno Adji, dan sebagainya. Ketum PBNU Prof Said Aqil Siraj pun lantang mendukungnya. MUI juga berpendapat yang sama. Artinya, dukungan publik pun tak kalah suara.

Sebagai Presiden, Joko Widodo harus bersikap. Tak hanya itu, ia juga harus memutuskan. Jokowi mungkin menjalankan filsafatnya Gus Dur, seorang pemimpin itu harus memutuskan, dalam kondisi apa pun. Akhirnya, Jokowi mendukung revisi UU KPK itu, dengan sedikit penolakan. Bagi Jokowi, revisi UU KPK ini sangat dilematis. Seperti buah simalakama, dimakan Ibu mati. Tidak dimakan, Ayah mati. Tetapi sebagai pemimpin ia harus ambil keputusan, dan Jokowi pun sudah memilihnya. Mungkin Jokowi ingat petuah ustadznya di Solo, qaidah ushul fiqh yang berbunyi : "maa laa yudraku kulluhu la yudraku kulluhu", memuaskan semua orang pasti tak bisa, tetapi berkarya sedikit pun pasti ada manfaatnya. Ini bagian dari ajaran filsafat dan agama. Barokallah buat Jokowi. Bravo Indonesia. Selamat bekerja KPK. Buktikan, kita bisa. Siapa pun kita. Insya Allah ... !!!        

    

Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun