Mohon tunggu...
M Syarbani Haira
M Syarbani Haira Mohon Tunggu... Jurnalis - Berkarya untuk Bangsa

Pekerja sosial, pernah nyantri di UGM, peneliti demografi dan lingkungan, ngabdi di Universitas NU Kal-Sel

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Meributkan Hastag Ganti Presiden

4 Juli 2018   08:34 Diperbarui: 4 Juli 2018   08:31 599
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sejak diluncurkan hastag #2019 Ganti Presiden, entah melalui lembaran kaos mau pun bendera atau tulisan tulisan lainnya, suhu politik negeri ini semakin meningkat. Kelompok yang paling resisten menghadapi ditayangkannya hastag #gantipresiden tersebut adalah kawan-kawan aktivis dan pendukung PDI-P. 

Kawan-kawan dari kelompok ini sampai kesulitan mencari argumentasi, sehingga terkadang jika terjadi perdebatan di tengah publik, maka dalih yang kerap mereka gunakan hanya soal emosional saja. Padahal, ketika ditanya balik soal hastag-hastag yang mereka lakukan, seperti #2019PresidenDuaPeriode, maka jawabannya pun tidak luar biasa.

Sesungguhnya, resiko Indonesia menganut sistem demokrasi, maka semua orang harus menerima apa pun yang terjadi. Lihat saja sejumlah kebijakan yang diambil oleh anggota DPR, kelompok "yang terhormat" di negeri ini. Mereka bisa berbuat apa saja yang mereka maui, sesuai kehendak mereka. Contoh sederhana, dengan memperhatikan kasus-kasus yang terjadi selama ini, setidaknya pasca reformasi 1998 yang lalu, orang-orang yang menjadi anggota legislatif itu diberikan kursi serba istimewa. 

Tadinya, DPD RI hanya diberikan untuk tokoh masyarakat saja, kaum fungsional. Misalnya masyarakat adat, tokoh etnik tertentu, akademisi, LSM atau NGO, pimpinan keagamaan, ormas, dan sebagainya. Ini hanya berjalan 2 x Pemilu, yakni 2004 dan 2009. Menjelang 2014, UU Pemilu mereka rubah, di mana anggota partai atau anggota DPR dibolehkan nyalon DPD.

UU lain yang juga menguntungkan mereka adalah aturan menjadi pejabat negara. Misalnya untuk menjadi Hakim Konstitusi, atau Hakim Agung. Mekanismenya cukup mundur dari partai, begitu mudah. Sedang yang memilihnya adalah teman-teman mereka sendiri. Mudah-mudahan ke depan tak ada regulasi yang memungkinkan anggota partai menjadi Kapolri, Panglima TNI, atau jabatan-jabatan publik urgent lainnya.

Mereka juga pernah buat aturan yang timpang. Misalnya PNS jika akan nyalon Pilkada harus berhenti. Sedang mereka cuma cuti. Jika sekarang ada aturan baru, UU-nya tetap dirancang yang menguntungkan mereka.

Tetapi inilah demokrasi. Koruptor yang masih dipenjara pun, atas dasar HAM, masih bisa terpilih dalam Pilkada atau Pileg. Hari ini saja sejumlah anggota legislatif sedang galak-galaknya mengkritisi PKPU yang melarang koruptor, pengguna narkoba dan pelecehan anak, menjadi caleg. Atas nama demokrasi, mereka sepertinya bisa berbuat apa saja. Entah sampai kapan hal ini berlangsung.

***

Sesungguhnya, jika demokrasi dianggap sebagai sebuah pilihan, maka tak ada yang perlu diributkan terkait dengan hastag-hastag atau apa pun kreasi demokrasi tersebut. Kecuali ada regulasi yang memang telah melarangnya.

Bagi kawan-kawan PDI-P dan para pendukung Jokowi lainnya, jelas sekali meributkan hastag tersebut cuma membuang-buang energy. Tak hanya itu, jika logika yang mereka gunakan dalam perdebatan soal hastag itu tak rasional, maka malah bisa menurunkan wibawa dan kredibilitasnya sebagai pendukung, atau sebagai wakil rakyat jika yang bersangkutan menjadi anggota DPR. 

Hal lain yang juga kurang menguntungkan dengan mendebat masalah ini adalah naiknya pamor mereka yang menjadi penggagas kreasi dan pendukung dari hastag #ganti presiden itu sendiri. Mereka tanpa capek-capek berbuat, tetapi cukup hanya sekadar senyum-senyum saja atas respon emosional dari kelompok yang tak setuju terhadap hastag itu. 

Kelompok penggagas ini malah mendapatkan reward yang luar biasa. Setidaknya itu bisa terlihat, dalam kasus pilkada serendak yang baru lalu, di mana konsentrasi dan pilihan dari elompok ini malah semakin solid dan menguat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun