Mohon tunggu...
Syamsurijal
Syamsurijal Mohon Tunggu... Guru - Penulis lepas

Seorang penulis lepas dan pemikir bebas

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Agama, Politik, dan Pencitraan

21 April 2020   03:55 Diperbarui: 21 April 2020   03:52 151
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Jujur saja, kita mulai kehilangan (jarang menemukan)  figur, tokoh, agamawan, intelektual, dan cendekiawan yang idealis, seperti Gus Dur dan Nurcholis Madjid.

Mereka tidak hanya kritis, jujur, adil, dan inspiratif. Tetapi, mereka juga memiliki keberanian untuk berkata benar, walaupun nyawa mereka terancam. Mereka tetap tegak berdiri membela kaum lemah yang tertindas, memperjuangkan hak rakyat-rakyat kecil, dan membela kelompok-kelompok minoritas. Mereka tidak tunduk pada kekuasaan dan tidak segan melawan jika kekuasaan membelok pada rel yang salah.

Agama bagi mereka adalah kebenaran yang harus diperjuangkan secara sungguh-sungguh. Nilai-nilai substansial agama harus di masyarakatkan dengan cara merealisasikannya dalam kehidupan sehari-hari. Mereka menganggap bahwa Agama bukan sekedar ritual seremonial, tetapi lebih dalam sebagai gerakan transformatif, aktual, dan progresif.

Agama bagi mereka membawa misi pembebasan terhadap kehidupan manusia. Dengan agama dan keyakinan atas Tuhan yang mendalam, manusia tidak akan takut dengan siapapun, kondisi dan keadaan apapun.

Jika hanya sekedar caci maki, fitnah, dan hinaan mereka tidak terlalu peduli, bahkan nyawa sekali pun akan diserahkan jika diperlukan dalam perjuangan menegakkan ajaran Agama yang ramah, damai, tersenyum, cinta, dan rahmatan lil 'Alamiin.

Pemahaman keagamaan mereka sangat mendalam dan tidak hanya sekedar retoris, tetapi terinternalisasi dengan baik dalam sendi kehidupannya. Hal ini bisa kita lihat dari kesederhanaanya. Pergaulan mereka yang luas tanpa membedakan satu dengan yang lain; baik dari status sosial, keturunan, mazhab, dan bahkan agama.

Mereka tidak mempertajam perbedaan, justru mereka sangat jeli melihat sisi kesamaan dari sejumlah perbedaan yang ada. Pemahaman keislaman, keindonesiaan,  dan kemanusiaanya tidak perlu dipertanyakan. Trilogi kesadaran tersebut sudah sangat melekat dengan diri mereka.

Menolak politisasi agama menjadi isu sentral kedua tokoh ini. Mereka sangat anti terhadap suatu gerakan-gerakan politik yang mengatasnamakan Tuhan dan Agama. Mereka menolak dengan argumentasi yang sangat jelas bahwa agama itu untuk manusia, tidak mungkin Tuhan menurunkan ajaran agama yang menghancurkan peradaban manusia itu sendiri. Hal itu sangat paradoks.

Jika pun, terjadi penyimpangan terhadap agama, maka diupayakan untuk melakukan pendekatan persuasif, terhormat, dan penuh kasih sayang. Prinsip "bil mau'idzotil hasanah"nya harus benar-benar diaktualisasikan. Kita perlu menggunakan pola yang lebih elegan dan berkomunikasi dengan komunikasi profetik.

Menurut mereka politik adalah sesuatu yang bersifat profan, tidak boleh menggunakan dalil-dalil agama yang bersifat sakral sebagai alat legitimasi.

Hubungan agama dan politik hanya sekedar mengimput asupan-asupan gizi bagi politik agar menjunjung tinggi sportifitas, damai, jujur, adil,  dan amanah. Maka mereka menolak agama sebagai ideologi dan sistem negara, seperti Negara Islam, Negara Khilafah, Negara Syari'ah, dan lain sebagainya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun