Mohon tunggu...
Syamsul Bahri
Syamsul Bahri Mohon Tunggu... Administrasi - coretan seadanya berawal dari minum kopi.

Menulis untuk belajar

Selanjutnya

Tutup

Politik

Kerja Gubernur Vs Kerja Presiden, Pantaskah?

15 Maret 2020   17:09 Diperbarui: 18 Maret 2020   19:32 168
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Presiden Jokowi dan Gub. DKI Jakarta (foto: tirto.id)

Kontestasi Pilpres telah berakhir. Bahkan, pemenang telah merangkul lawannya. Bagi para politisi senior dan sarat pengalaman, kondisi seperti ini merupakan hal yang biasa. Mereka sudah paham bahwa berlawanan itu hanya terjadi pada saat proses pemilihan. Setelah itu, normal seperti biasa. Bahkan, partai yang sebelumnya menjadi lawan, akan menjadi teman pada momen pemilihan lainnya. 

Saling serang ketika debat Capres, saling sindir ketika berstatement di media, bagi mereka hanyalah sekedar "bumbu penyedap" kontestasi politik. Itulah politik, situasi memanas di mata pendukung, tapi belum tentu bagi para politisi yang menjalaninya. 

Lihatlah, bagaimana pasca Pilpres 2019, yang berlawanan itu justru menjadi teman, tim kerja yang bahu-membahu membangun dan memajukan bangsa. Menjadi bagian dalam kabinet Indonesia Maju.

Setelah itupun, sebagian orang mungkin berpikir dan beranggapan bahwa Indonesia telah melalui proses politik yang panas namun penuh sandiwara. Berpikir juga, bahwa semua telah berakhir dan keadaan akan menjadi lebih baik. Setidaknya, hingga menjelang Pilpres 2024.

Ternyata, apa yang dipikirkan itu tidak sesuai fakta saat ini. Walaupun, situasinya tak sepanas pada proses Pilpres 2019. Perseturuan panas itu masih menyisakan kebencian yang tak mudah hilang begitu saja. Kebencian yang bergeser melibatkan orang-orang di belakang figur baru yang juga merupakan pendukung yang telah dirangkul oleh pemenang.

Mereka selalu saja mengkaitkan apapun dengan sosok yang telah memenangkan Pilpres untuk ke-2 kalinya itu. Bagaimana mereka membandingkan kerja keduanya dan memuji figur baru itu dengan kalimat yang sungguh menggelikan "Gubernur rasa Presiden". Ini menjadi salah satu "template" caption  di media sosial sebagai ungkapan kekaguman mereka terhadap figur itu. 

Apakah Orang-orang yang mendukung pemenang sejak Pilpres terprovokasi? Sedikit, seperti halnya pada saat Pilpres, yang pendukungnya lebih dikenal dengan silent majority pada saat itu. 

Teringat pada awal tahun 2020, ketika banjir kembali melanda Kota Jakarta. Terjadi perdebatan seru dalam cara penanganan banjir. Ada yang mengandalkan normalisasi, sedangkan yang lain proses naturalisasi. 

Perdebatan cara penanganan ini pun melibatkan "pembantunya". Walaupun tidak berlangsung lama. Hal ini karena, teori yang sering disampaikan tidak ditanggapi dengan teori juga, tapi dengan upaya nyata dengan melihat kondisi dan permasalahan langsung di lapangan. Karakter yang merupakan ciri khasnya yang mirip dengan "Bosnya". Diam tapi bekerja.

Dan yang terakhir, adalah kasus Covid-19 yang sudah mewabah hampir di seluruh negara di dunia, termasuk Indonesia. Itupun, dijadikan bahan perbandingan dan perdebatan. Ini lebih cepat respon lah, lebih cepat ambil keputusan lah, dan yang satunya dianggap lebih lambat dan diragukan cara penanganannya. Memangnya, Jakarta itu berdiri sendiri? Bukan bagian dari Indonesia? 

Seperti kita ketahui, struktur dalam pemerintahan sudah sangat jelas, mulai dari Kota/Kabupaten yang dipimpin Walikota/Bupati, Provinsi dipimpin oleh Gubernur, serta Pemerintah Pusat yang dipimpin oleh Kepala Negara (Presiden). 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun