Mohon tunggu...
Syamsul Alam
Syamsul Alam Mohon Tunggu... -

Aku Masih di Sini, Menulis.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Media Sosial & Kesalehan Beragama; Ketulusan atau Pencitraan?

16 September 2025   14:08 Diperbarui: 19 September 2025   08:23 35
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Setiap kali saya membuka sosmed, hal yang pertama kulakukan adalah melihat status dan postingan di berbagai media sosial. Berbagai macam status yang saya saksikan sebagai bentuk ekspresi warga net, seperti; hasil screenshoot chat dengan bestie, kegiatan sehari-hari yang mereka abadikan dalam postingan, hingga kata-kata galau yang dapat mengekspresikan perasaannya.

Selain itu, seringkali saya temukan di berbagai platform media sosial (facebook, instagram dan watsapp) status atau postingan mengenai potret seseorang yang sedang melakukan kewajiban beribadah tentang nuansa keagamaan yang mencerminkan ritual keagamaan mereka pada saat melakukan kewajiban seperti ibadah, berdoa, dan bersedekah.

Postingan tentang seseorang yang membagikan momen keagamaan mereka di media sosial membuat saya bertanya, Apakah yang mereka tampilkan di media sosial dapat mencerminkan ketulusan dalam menjalankan praktik keagamaan, ataukah itu hanya pencitraan semata?

Dalam era digital yang begitu masif, media sosial telah menjadi panggung utama dalam merepresentasikan diri. Itu sebab, seringkali status atau postingan yang disuguhkan menciptakan sebuah narasi yang dapat mencerminkan ketulusan seseorang atau itu hanyalah upaya sebagai pencitraan.

Beberapa orang mungkin membagikan momen keagamaan mereka sebagai wujud kesungguhan dan dedikasi mereka. Sementara yang lain, bisa saja melakukan untuk mendapatkan pengakuan atau pujian dari orang lain, ataukah sengaja memposting dirinya "seolah-olah" sedang melakukan ibadah agar wanita atau pria yang dia sukai merasa kagum dengan dirinya.

Erving Goffman (1922-1982), seorang sosiolog Kanada dalam bukunya yang berjudul The Presentation of Self in Everyday Life dengan konsep front stage dan back stage sebagai cara untuk menggambarkan perbedaan perilaku seseorang dalam kehidupan sehari-hari antara perilaku publik dan privasi.

Dewasa ini, kita dihadapkan dengan dua dunia yaitu dunia maya dan dunia nyata, jika merujuk pada konsep Goffman maka front stage merupakan ruang dunia maya (publik) yang dimana seseorang berusaha menampilkan citra positif agar mendapatkan pujian, menambah followers, dan sebagainya. Sedangkan back stage ruang dunia nyata (privasi) yang dimana seseorang lebih autentik, menampilkan sisi pribadinya atau karakter aslinya.

Media sosial dapat menciptakan kesenjangan antara penampilan dengan realitas. Pada satu sisi, media sosial dapat memberikan ruang bagi individu untuk berbagi nilai-nilai keagamaan mereka agar dapat menginspirasi orang lain.

Namun, disisi lain, banyak juga yang melakukan citra palsu terkait kesalehan beragama mereka di media sosial hanya untuk mendapatkan pujian kepada warga net tanpa benar-benar melaksanakannya dalam kehidupan sehari-hari mereka, sehingga status di media sosial seringkali potret yang dipilih secara cermat agar dapat menyembunyikan kenyataan di balik layar.

Berdasarkan uraian diatas, manusia kerap kali terjebak dalam perangkap simulacra. Istilah tersebut merupakan konsep pemikiran dari Jean Bouldriard seorang tokoh sosiologi modern. Yang dimana media sosial telah "memaksa" manusia untuk mematikan aktivitas dunia sosialnya secara nyata. Kematian tersebut ditandai dengan individu yang terjebak dalam perangkap simulakra yang kesulitan membedakan kehidupan nyata dan tidak nyata.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun