Mohon tunggu...
Syamsul Alam
Syamsul Alam Mohon Tunggu... Alumnus UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Pena

Selanjutnya

Tutup

Politik

Relawan, Pragmatisme dan Citra Politik; Belajar dari Kasus Noel

10 September 2025   01:38 Diperbarui: 10 September 2025   01:38 17
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: Immanuel Ebenezer menggunakan romping orange (https://litex.co.id)

Nama Immanuel Ebenezer, atau yang akrab disapa Noel, mungkin bukan sosok asing bagi publik. Ia awalnya muncul bukan dari partai politik besar atau jalur birokrasi, melainkan dari barisan relawan. Noel pernah memimpin Jokowi Mania (JoMan) saat Pilpres 2019, menjadi corong dukungan untuk Jokowi di akar rumput. Namun, langkah politiknya tidak berhenti di situ. Seiring waktu, arah dukungannya bergeser dari Jokowi ke Ganjar Pranowo, hingga akhirnya berlabuh ke kubu Prabowo Subianto dengan memimpin Prabowo Mania.

Dari kiprahnya sebagai relawan inilah Noel mendapat semacam golden tiket masuk ke lingkaran kekuasaan. Dan puncaknya, pada Oktober 2024, ia dilantik sebagai Wakil Menteri Ketenagakerjaan di kabinet Prabowo--Gibran.

Sebelum terseret kasus OTT KPK, Noel cukup aktif membangun citra dirinya di ruang publik. Ia kerap tampil di media dengan pernyataan keras dan gaya bicara blak-blakan yang membuatnya mudah dikenali. Noel juga mencoba "mengkapitalisasi" latar belakang aktivismenya, sering menyebut diri sebagai representasi suara rakyat kecil, bahkan sempat mengkritik keras praktik oligarki maupun kebijakan yang dinilai merugikan buruh. Di berbagai forum, ia tampil seolah menjadi jembatan antara pemerintah dan kelompok pekerja, meski kritik bahwa dirinya lebih sering tampil retoris ketimbang menghadirkan solusi konkret tak jarang muncul.

Posisi Wamenaker yang ia emban sesungguhnya strategis, karena menyentuh langsung nasib jutaan buruh di Indonesia. Publik sempat berharap ada gebrakan nyata, mengingat rekam jejak Noel sebagai aktivis yang vokal dalam isu-isu sosial. Namun, belum sempat lahir kebijakan berarti, reputasinya keburu runtuh akibat OTT KPK. Kasus ini menambah daftar panjang kekecewaan; pejabat yang mestinya mengawal hak mereka justru tersandung dugaan praktik korupsi.

Alih-alih memperjuangkan kepastian kerja atau upah layak, perhatian publik tersita pada drama politik personal sang wamen. Dengan kata lain, buruh kembali menjadi pihak yang paling dirugikan, sebab isu substansial ketenagakerjaan tenggelam oleh skandal individu.

Antara Idealisme dan Pragmatisme Kekuasaan

Kasus Immanuel Ebenezer alias Noel menjadi cermin betapa tipisnya garis antara idealisme dan pragmatisme kekuasaan dalam politik Indonesia. Pada awal kemunculannya, Noel membawa semangat relawan yang acap kali diasosiasikan dengan idealisme; bergerak tanpa pamrih, menggalang dukungan untuk kandidat dengan keyakinan bahwa yang diperjuangkan adalah masa depan rakyat.

Akan tetapi, idealisme itu perlahan kabur ketika kiprah relawan bertransformasi menjadi pintu masuk kekuasaan. Noel tidak lagi sekadar mengorganisir massa, tetapi mulai merapat ke lingkaran elite, berpindah haluan politik dari satu kandidat ke kandidat lain. Pergeseran itu bisa dilihat sebagai kecerdikan membaca peta politik, tapi sekaligus menimbulkan kesan pragmatisme yang kental; mendukung bukan lagi soal ideologi, melainkan soal posisi yang menjanjikan akses dan pengaruh.

Dalam teori politik, idealisme dipahami sebagai orientasi pada prinsip, nilai, dan tujuan luhur yang bersifat normatif. Seorang aktor politik yang bergerak dengan idealisme cenderung menempatkan kepentingan publik, moralitas, dan komitmen pada perubahan sosial sebagai pedoman utama tindakannya. Idealisme kerap dihubungkan dengan gerakan-gerakan sosial, relawan politik, atau tokoh yang masih berada di luar lingkar kekuasaan.

Sebaliknya, pragmatisme kekuasaan menekankan pada aspek strategis dan kalkulatif. Bagi saya, pragmatisme tidak selalu negatif, kemampuan beradaptasi dan kompromi kerap kali diperlukan untuk mencapai tujuan politik. Namun, ketika pragmatisme bergeser menjadi oportunisme, kekuasaan bukan lagi instrumen memperjuangkan kepentingan publik, melainkan sekadar sarana mempertahankan posisi dan keuntungan pribadi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun