Mari kita mulai dengan pengakuan pahit: IPK itu mirip kartu undangan pernikahan. Cantik, berkilau, dipajang sebentar... lalu dilupakan setelah acara selesai. Ya, angka 3,9 di transkrip kuliah Anda memang bikin orang tua tersenyum bangga. Tapi di dunia kerja? HRD lebih sibuk menilai: Apakah Anda bisa ngobrol tanpa bikin suasana kayak rapat RT jam 10 malam?
Di negeri ini, obsesi terhadap IPK sering lebih sakral daripada doa hujan. Orang tua bangga, dosen puas, pejabat kadang memamerkan gelarnya seperti koleksi tas branded. Tapi mari jujur: berapa banyak pejabat kita yang IPK-nya tinggi, tapi soft skill mendengarkan rakyatnya... nol besar?
Padahal, kenyataan di lapangan jauh lebih sederhana. Dunia kerja tidak butuh robot penghafal teori, tapi butuh manusia yang bisa:
- Ngomong jelas tanpa bikin migrain -- Percuma IPK 4.0 kalau bicara kayak absen Google Translate.
- Kritis tapi nggak nyolot -- Banyak orang bisa kritik, tapi nadanya seperti satpam komplek yang kehilangan kunci. Yang dicari? Kritik yang tajam tapi bikin orang ingin traktir kopi, bukan lempar kursi.
- Kerja tim ala dapur rendang -- Ada yang jadi santan, ada yang jadi cabai, ada yang jadi daging. Kalau semua maunya jadi garam? Tamatlah sudah.
- Fleksibel kayak warung indomie 24 jam -- Dunia digital berubah lebih cepat daripada ganti tren filter TikTok. Kalau Anda kaku, siap-siap pensiun dini dari relevansi.
- Integritas -- Barang langka ini sayangnya tidak ada di marketplace. Kalau bisa dibeli, mungkin pejabat kita sudah belanja borongan saat Harbolnas.
Tapi tetap saja, kampus masih sering menjual mimpi: "Raih IPK tinggi, masa depan cerah menanti." Hasilnya? Banyak lulusan cum laude yang akhirnya jadi cum laude di ruang tamu, sibuk menjawab pertanyaan ibu: "Nak, kapan kerja? Masa jadi admin grup WA keluarga terus?"
Jadi izinkan saya memberi nasihat jujur, dari seorang dosen lama yang sudah kenyang rapat, sidang, dan mendengar pejabat bicara panjang tanpa isi: Latihlah soft skills Anda. Belajar komunikasi, belajar sabar, belajar adaptasi. Percayalah, kemampuan menenangkan bos yang bad mood lebih berharga daripada bisa menghitung elastisitas permintaan dengan 17 rumus ekonomi.
Dan terakhir, pesan saya sederhana: kalau negara ini punya lebih banyak orang dengan soft skill, mungkin rapat kabinet bisa selesai dalam 30 menit, bukan 3 jam penuh jargon. Itu pun dengan hasil yang lebih masuk akal ketimbang wacana "makan singkong nasional" tiap kali harga beras naik.
Tapi, undangan penikahan yang cantik akan membuat tamu ingin datang.
IPK yang bagus akan membawa Anda ke meja wawancara yang bagus.
IPK yang jelek membuat Anda tidak bisa ikut melamar pekerjaan.Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI