Selamat pagi, para pejuang produktivitas! Yang pagi-pagi sudah sibuk atur notifikasi, baca newsletter self-improvement, sambil sesekali melirik pantulan wajah di layar hp yang mulai menua---sama seperti resolusi Tahun Baru kita. Sebagai akademisi ekonomi industri yang sekarang punya hobi baru: mengamati drama produktivitas anak muda, saya ingin berbagi tawa... eh, maksudnya wisdom.
Di zaman ketika "hustle culture" menjadi agama baru, kita rela menjual jiwa raga untuk produktivitas. Mirip seperti mesin fotokopi jaman old---semakin keras bekerja, semakin banyak kertas yang tersebar, tapi isinya sering sama: kosong! Data menunjukkan 80% orang Indonesia merasa sibuk, tapi hanya 20% yang benar-benar produktif. Sisanya? Sibuk mengatur to-do list yang tak pernah selesai.
5 Kebiasaan "Produktif" yang Sebenarnya Lucu:
- Meeting untuk Rencana Meeting Berikutnya
"Wah, kita harus meeting dulu buat bahas agenda meeting besok!" Kalimat sakti yang membuat karir saya dulu bertahan 40 tahun tanpa harus benar-benar kerja. Ini seperti tarian ritual: banyak gerakan, sedikit makna. Padahal, menurut penelitian (yang saya baca sambil minum kopi), 67% meeting bisa diganti dengan email 3 kalimat. Tapi mana mau? Meeting itu bukti kita exist! - Multitasking: Seni Menipu Diri Sendiri
Membalas email sambil zoom meeting sambil scroll Instagram---ah, klasik! Kita merasa seperti pilot jet tempur, padahal hasilnya seperti badut sirkus: banyak aksi, jatuh berkali-kali. Otak kita sebenarnya hanya bisa fokus pada satu hal, tapi ego berkata: "Kamu spesial, kamu bisa!" Hasilnya? Semua pekerjaan setengah matang, seperti nasi goreng yang dibuat tanpa minyak. - Workaholism sebagai Lencana Kehormatan
"Saya tidur hanya 4 jam!" dipamerkan bagai lencana jasa. Padahal, kurang tidur itu seperti mencetak uang palsu---kelihatannya produktif, tapi nilainya nol. Di usia saya sekarang, baru sadar: yang bangga begadang biasanya yang pekerjaannya tidak selesai-selesai juga. - Membeli Kursi Ergonomis Rp 15 Juta untuk Bekerja Lebih Lama
Ironi terindah abad ini: kita investasi mahal agar bisa bekerja lebih lama dengan nyaman. Ibarat membeli ranjang mewah untuk pasien insomnia. Daripada duduk 12 jam di kursi ergonomis, mungkin lebih baik bekerja 8 jam efektif di kursi kayu lalu pulang hidup bahagia? - Self-Improvement yang Justru Bikin Stres
Setiap pagi kita disuguhi 10 cara jadi orang sukses, 5 teknik meditasi, 7 resep smoothie---hingga yang ingin diperbaiki diri malah pusing memilih. Self-improvement seharusnya seperti bumbu masak, bukan menu utamanya. Hidup itu sederhana: kerja baik, istirahat cukup, jangan lupa ketawa. Tapi kita lebih memilih jadi "project" yang tak pernah selesai.
Sebagai ekonom yang mulai menua, saya melihat ini sebagai "productive inefficiency"---kita sibuk mengoptimalkan hal yang salah. Seperti memperindah pagar rumah yang akan roboh. Produktivitas sejati itu seperti masakan ibu: sederhana, penuh cinta, dan yang penting sampai ke perut---bukan foto cantik di Instagram.
Mungkin kita takut diam. Takut berpikir. Karena dalam keheningan, kita harus berhadapan dengan pertanyaan menakutkan: "Apa tujuan hidup saya sebenarnya?" Lebih mudah menyibukkan diri dengan produktivitas semu daripada menjawab itu. Seperti kata filsuf tukang bakso dekat kampus: "Yang penting kenyang, mau piring cantik atau murah sama saja."
Coba besok, lakukan eksperimen: kerjakan satu tugas sampai tuntas tanpa buka media sosial. Duduk diam 5 menit tanpa melakukan apa-apa. Tolak satu meeting tidak penting. Dan lihatlah---dunia tidak kiamat! Malahan mungkin Anda menemukan hal ajaib: diri sendiri.
Mungkin kita perlu belajar dari kucing: mereka tidak pernah sibuk, tapi selalu produktif---dalam hal tidur dan manjakan diri. Dan lihatlah, mereka bahagia!
Maaf cakap, bukan menyaman dengan si meong yaa... hehehe...
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI