Kenapa oleh-oleh cuma dibahas saat Lebaran atau liburan sekolah? Padahal, kalau dihitung serius, nilainya bisa bikin Menteri Keuangan tiba-tiba minta kursi tambahan di pesawat buat bawa pulang keripik sanjai. Tapi apa daya, oleh-oleh masih dianggap hiburan musiman. Lucu buat bahan iklan bus pariwisata, tapi begitu rapat kabinet, topiknya hilang---yang dibahas justru "hilirisasi" entah apa, yang rakyatnya sendiri bingung: hilirisasi itu makanan apa, bisa dijadikan oleh-oleh juga kah?
Mari coba dialog imajiner.
Saya: "Bang, berapa omzet dodol Garut setahun?"
Pedagang: "Kalau dihitung semua, bisa ratusan miliar, Pak."
Saya: "Lho, kok nggak pernah masuk berita ekonomi?"
Pedagang: "Ya, soalnya nggak ada konferensi pers, Pak. Kami sibuk motong dodol, bukan potong pita."
Begitu sederhana jawabannya. Dan jujur saja, itu lebih masuk akal daripada penjelasan pejabat yang sering seperti membaca novel fiksi ilmiah.
Badan Pusat Statistik mencatat rata-rata belanja wisatawan domestik Rp3,5 juta sekali jalan. Sekitar seperempatnya ludes buat oleh-oleh. Itu artinya, ratusan triliun berputar hanya karena orang takut pulang kampung tangan kosong. Consumer surplus? Ah, istilah akademis itu bisa disederhanakan: lebih baik kantong kempes daripada disambut dengan wajah masam tante di rumah.
Masalahnya, industri ini diperlakukan macam anak tiri. UMKM masih berjibaku dengan modal seikhlasnya, kemasan ala kadarnya, dan distribusi yang mirip jalan tol di musim mudik: macet di mana-mana. Pemerintah? Lebih sibuk urus power bank ketimbang kue bingka. Lihat saja bandara: colokan listrik berjajar rapih, tapi coba cari etalase oleh-oleh khas daerah---yang ada malah roti impor dengan nama asing.
Padahal, Jepang sudah lebih dulu paham dengan meibutsu. Setiap kota punya produk khas, dipromosikan sistematis, dijadikan kebanggaan. Kita? Kadang produk khas malah jadi korban plesetan. Dodol Garut, misalnya, sering dipakai buat bahan bercanda: "keras kayak dodol Garut". Bayangkan kalau Swiss memperlakukan cokelatnya begitu. Bisa bubar perekonomian mereka.
Dan jangan lupa: pejabat kita paling rajin beli oleh-oleh saat kunjungan kerja. Begitu sampai Jakarta, entah mengapa oleh-oleh itu tiba-tiba berubah fungsi: dari produk UMKM jadi "bingkisan diplomasi". Rasanya baru kemarin saya lihat seorang pejabat pulang dari daerah bawa rendang kering, tapi seminggu kemudian rendang itu sudah dipajang di rak ruang tamunya---dipamerkan, bukan dimakan. Kalau rendang saja bisa jadi barang pajangan, apalagi nasib industri oleh-oleh secara keseluruhan?
Solusinya sebetulnya sederhana: berhenti memperlakukan oleh-oleh sebagai lelucon. Buat klaster industri oleh-oleh, beri kredit lunak, dukungan riset, dan akses pasar global. Universitas bisa ikut riset cara bikin kue tradisional awet seminggu tanpa mengubah rasa. Marketplace bisa jadi etalase dunia untuk sambal roa, amplang, atau kopi Gayo. Tapi jangan cuma jadi jargon di seminar ber-AC dengan goodie bag yang isinya malah snack impor.
Sebagai akademisi, saya sudah kenyang birokrasi. Sekarang tugas saya hanya satu: ngomel dengan gaya bebas, kadang nyeleneh, tapi tetap dengan cinta pada negeri. Kalau ada pejabat tersinggung, anggap saja itu oleh-oleh dari saya.
Jadi, mari kita berhenti menertawakan kekuatan sepotong dodol atau sebungkus keripik. Ekonomi oleh-oleh ini nyata, menyerap jutaan tenaga kerja, memperkuat identitas lokal, bahkan bisa jadi tulang punggung ekspor kreatif. Pertanyaannya: maukah kita serius, atau mau terus bercanda setiap musim mudik?