Melindungi Warisan, Menghargai Inovasi: Pergulatan Hak Cipta UMKM Kreatif Indonesia
"Ketika warisan budaya tak didaftarkan, ia akan diambil tanpa permisi; ketika karya dibiarkan terbuka, ia akan diklaim oleh yang tak punya hak." Kalimat ini saya ucapkan bertahun-tahun lalu dalam sebuah diskusi kecil tentang perlindungan kekayaan intelektual di kalangan perajin lokal. Ironisnya, kini kalimat itu terasa semakin relevan.
Beberapa waktu terakhir, publik kembali dikejutkan oleh kasus dugaan klaim sepihak motif tenun tradisional oleh perusahaan luar negeri. Salah satu yang paling menyita perhatian adalah potensi eksploitasi motif songket Pandai Sikek---tenun ikonik asal Sumatra Barat---yang dianggap unik, otentik, dan memiliki nilai simbolis tinggi dalam kebudayaan Minangkabau. Di waktu yang hampir bersamaan, berbagai karya wastra Nusantara lainnya, seperti tenun ikat Sumba, gringsing Bali, hingga ulos Batak, juga menghadapi risiko serupa: dikomersialisasi tanpa persetujuan, tanpa atribusi, dan tanpa manfaat ekonomi bagi pencipta aslinya.
Kekayaan Budaya, Kekosongan Hukum
UMKM kreatif, khususnya di sektor kriya tekstil tradisional, menjadi ujung tombak ekonomi kerakyatan sekaligus penjaga nilai budaya bangsa. Namun, di balik keindahan motif dan kehalusan benang, tersimpan perjuangan yang tidak kasat mata: perjuangan untuk pengakuan dan perlindungan hukum.
Karya-karya ini sering tidak memiliki lisensi formal, tidak terdaftar sebagai hak cipta, dan belum tentu mendapat perlindungan hukum dalam skala nasional maupun internasional. Celah inilah yang kerap dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang paham hukum, punya modal, dan bisa mengakses sistem kekayaan intelektual global lebih cepat daripada pencipta aslinya.
Ketimpangan Nilai dan Ketidakadilan Ekonomi
Ketika motif warisan budaya direproduksi secara massal oleh korporasi asing tanpa persetujuan komunitas adat atau UMKM pembuatnya, terjadi pengalihan nilai ekonomi secara sepihak. Nilai yang seharusnya diperoleh oleh perajin dan komunitas lokal justru berpindah ke entitas yang tidak memiliki hubungan emosional maupun historis terhadap karya tersebut.
Lebih jauh, hal ini menimbulkan distorsi pasar: produk asli menjadi mahal dan tersingkir oleh tiruan murah yang diproduksi secara industri. Ini bukan hanya masalah ekonomi, tetapi juga menyangkut penghormatan terhadap identitas dan martabat budaya lokal.
Asimetri Informasi dan Kegagalan Pasar
Dalam perspektif ekonomi industri, persoalan ini dapat dianalisis melalui konsep asimetri informasi---situasi ketika satu pihak memiliki informasi lebih unggul dibanding pihak lain dalam pasar. UMKM di daerah, yang mungkin tidak memahami sistem pendaftaran hak cipta atau lisensi, berada dalam posisi yang rentan.