"Indonesia itu kaya, tapi rakyatnya tetap miskin."
Kalimat ini acap kali terdengar di ruang-ruang diskusi publik maupun bisik-bisik warung kopi. Ironi ini bukan tanpa dasar. Selama puluhan tahun, negeri ini dikenal sebagai eksportir bahan mentah kelas dunia---nikel, batu bara, bauksit, tembaga---namun tetap bergantung pada barang impor yang berasal dari bahan mentah yang sama. Inilah paradoks struktural yang perlahan mulai kita koreksi melalui satu kata kunci yang kini kerap menggema: hilirisasi.
Namun, apakah hilirisasi benar-benar telah menjadi mesin perubahan? Atau jangan-jangan, ia hanya sekadar jargon yang kehilangan makna jika tak diikuti arah kebijakan yang tepat?
Hilirisasi: Dari Retorika ke Realita
Dalam beberapa tahun terakhir, pemerintah menggulirkan kebijakan hilirisasi secara agresif, terutama di sektor pertambangan. Larangan ekspor bijih nikel pada 2020, misalnya, menjadi tonggak besar dalam mendorong investasi pengolahan dalam negeri. Tidak lama kemudian, muncul smelter-smelter megah di Sulawesi dan Maluku, sebagian besar dibangun dengan investasi asing, terutama dari Tiongkok.
Data dari Kementerian Investasi menunjukkan bahwa sektor logam dasar dan barang logam (yang termasuk dalam hilirisasi tambang) menyumbang lebih dari 20% dari total realisasi investasi asing langsung (FDI) pada 2023. Nilai ekspor produk turunan nikel pun melonjak dari hanya USD 6 miliar pada 2019 menjadi lebih dari USD 30 miliar pada 2024.
Dampak Struktural yang Mulai Terasa
Dampaknya tidak hanya tercermin dalam neraca perdagangan, yang kini lebih sering surplus, tetapi juga mulai terasa dalam struktur ekonomi nasional. Sektor industri pengolahan logam kini tumbuh lebih cepat dibandingkan rata-rata sektor manufaktur lain. Lapangan kerja tercipta, terutama di kawasan timur Indonesia yang sebelumnya relatif terpinggirkan dari arus industrialisasi.
Namun, pertanyaan penting tetap mengemuka: apakah ini cukup untuk mengubah struktur ekonomi nasional secara mendasar?
Hilirisasi dan Teori Pembangunan Struktural
Dalam literatur ekonomi pembangunan, perubahan struktur ekonomi dari sektor primer (pertanian dan pertambangan) ke sekunder (industri) adalah ciri utama dari transformasi menuju negara industri maju. Teori Arthur Lewis tentang dualisme ekonomi menunjukkan bahwa produktivitas tinggi hanya tercapai jika surplus tenaga kerja dari sektor tradisional berpindah ke sektor modern yang padat modal dan teknologi.
Hilirisasi, dalam kerangka ini, menjadi pintu gerbang penting. Tapi pintu ini hanya membawa kita ke lorong yang lebih panjang: industri pengolahan menengah dan tinggi yang menyerap teknologi, inovasi, dan nilai tambah berlapis.