Mohon tunggu...
Syaiful Anwar
Syaiful Anwar Mohon Tunggu... Dosen FEB Universitas Andalas Kampus Payakumbuh

Cara asik belajar ilmu ekonomi www.unand.ac.id - www.eb.unand.ac.id https://bio.link/institutquran

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

5 Solusi Mengatasi Dualisme Struktural Ekonomi Indonesia.

7 September 2025   19:30 Diperbarui: 7 September 2025   19:30 13
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bisnis. Sumber ilustrasi: Unsplash

Indonesia tengah berada dalam situasi yang unik. Produk manufaktur kita semakin dikenal di pasar global, berhasil menembus Asia hingga Eropa. Data BPS semester I tahun 2025 menunjukkan ekspor manufaktur tumbuh 6,1%, terutama di sektor elektronik, otomotif, dan logam. Kabar ini tentu menggembirakan.

Namun, di balik gemerlap angka ekspor itu, ada kisah yang kurang nyaman. Industri dalam negeri justru terasa makin terjepit. Lapangan kerja industri menyusut hampir 1,3% dalam waktu yang sama, dan utilisasi kapasitas pabrik nasional hanya 68,9%, jauh di bawah angka efisiensi yang ideal di atas 75% (Kemenperin, 2025).

Mengapa fenomena ini terjadi? Ada ironi besar di sini: meskipun produk kita laku keras di luar negeri, sektor industri lokal malah kesulitan berkembang. Banyak pabrik besar merelokasi produksi ke negara lain yang menawarkan insentif lebih baik. UMKM manufaktur juga kesulitan bersaing karena kenaikan harga bahan baku dan gangguan rantai pasok global.

Dalam konteks pembangunan ekonomi, industri manufaktur seharusnya menjadi motor penggerak utama. Selain menciptakan lapangan kerja, industri membangun rantai nilai yang menyokong berbagai sektor lain dan memacu inovasi teknologi. Namun kenyataannya, kontribusi sektor ini terhadap PDB Indonesia menurun dari 22% pada 2010 menjadi 18,3% pada 2024, berbeda dengan negara tetangga seperti Vietnam dan Thailand yang berhasil mempertahankan dan memperkuat industrinya (BPS, 2024).

Masalah ini mencerminkan dualisme struktural ekonomi Indonesia. Ada dua dunia yang berjalan beriringan: industri besar yang ekspor produknya ke luar negeri dan industri kecil yang berjuang di dalam negeri. Sektor modern dan tradisional ini berjalan tak seimbang, seperti yang pernah diingatkan oleh ekonom Arthur Lewis dalam teori dualisme ekonomi.

Apa penyebab utama dari dilema ini? Pertama, industri ekspor kita masih sangat bergantung pada impor bahan baku dan teknologi sehingga nilai tambah domestik menjadi terbatas. Kedua, kebijakan pemerintah lebih banyak menguntungkan industri besar, sementara UMKM sulit mendapatkan akses pembiayaan dan pelatihan yang memadai. Ketiga, infrastruktur industri yang belum merata membuat pengembangan sektor manufaktur di luar Jawa berjalan lambat. Keempat, ketergantungan pada komponen impor membuat produksi lokal kurang kompetitif.

Lalu, bagaimana solusinya? Kita perlu mengembangkan kebijakan yang tidak hanya mendorong ekspor, tapi juga memperkuat keterkaitan lokal dalam rantai nilai industri. Program peningkatan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) yang realistis dan progresif harus dijalankan. UMKM harus diberikan ruang dan dukungan agar dapat masuk ke rantai pasok global dan naik kelas. Pengembangan kawasan industri berbasis potensi daerah juga perlu dipercepat agar pemerataan ekonomi lebih tercapai. Selain itu, riset dan pengembangan untuk substitusi bahan baku impor harus menjadi prioritas.

Ekspansi ke pasar global memang penting, tapi tanpa integrasi yang kuat dengan ekonomi lokal, pertumbuhan hanya akan bersifat sementara dan rapuh. Industri bukan sekadar mesin penghasil angka ekspor, tapi harus menjadi tulang punggung ekonomi yang menghidupi masyarakat dan membuka kesempatan kerja secara berkelanjutan.

Pemerintah, pelaku industri, dan masyarakat harus bersinergi untuk mengatasi dilema ini. Jika tidak, kita hanya akan melihat ekspor yang tumbuh tanpa disertai kemajuan industri lokal yang sesungguhnya. Kekuatan ekonomi nasional bergantung pada seberapa kokoh fondasi industrinya. Mari kita kembalikan manufaktur sebagai jantung pembangunan Indonesia yang sesungguhnya.

Referensi:

  • Badan Pusat Statistik (BPS), "Ekspor-Impor Menurut Golongan Barang Industri", 2025
  • Kementerian Perindustrian RI, "Utilisasi Industri Pengolahan Q2 2025", 2025
  • World Bank, Global Economic Prospects, 2024
  • Dani Rodrik, The Globalization Paradox, 2011
  • Arthur Lewis, Economic Development with Unlimited Supplies of Labour, 1954

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun