Setiap 17 Agustus, jalanan dibersihkan, bendera dinaikkan, mural bertema perjuangan dilukis di tembok-tembok kota. Media ramai, anak sekolah sibuk gladi upacara, dan pejabat berlomba membuat pidato paling patriotik.
Tapi coba jujur tanya pada diri sendiri: berapa dari kita yang ingat tanggal 23 Agustus? Atau 1 Juni? Atau 27 Desember?
Sejarah Indonesia penuh dengan titik balik penting. Tapi nyatanya, hanya segelintir hari besar yang kita rawat dalam ingatan kolektif. Sisanya tertutup debu waktu dan rutinitas yang memabukkan. Kita jadi bangsa yang selektif dalam mengingat---dan itu bukan cuma soal kelalaian, tapi juga soal cara kita membingkai sejarah.
Ambil contoh 23 Agustus 1945, dua hari setelah pembentukan PPKI, saat rakyat Indonesia mulai secara nyata mengambil alih kekuasaan dari tangan Jepang di banyak wilayah. Bukan elite politik yang turun pertama kali, tapi rakyat biasa---pemuda kampung, buruh pelabuhan, para guru, tukang pos, petani, dan pelajar---yang memberanikan diri mengganti lambang negara, menyita kantor, dan mendirikan pemerintahan lokal. Ini bukan peristiwa kecil. Ini adalah denyut pertama dari Republik yang hidup. Tapi berapa sekolah yang mengajarkannya? Berapa stasiun TV yang menyebutnya?
Tanggal lain, 1 Juni 1945---saat Soekarno menyampaikan pidato yang melahirkan Pancasila. Apakah ia tidak sepenting 17 Agustus? Atau 27 Desember 1949, saat Belanda akhirnya menyerahkan kedaulatan secara de jure---mengakui Indonesia bukan lagi koloni? Apakah ini bukan bagian dari kemerdekaan kita?
Yang lebih menyakitkan adalah bahwa beberapa peristiwa penting daerah bahkan tak dianggap sebagai sejarah nasional. Pertempuran besar di Sulawesi Selatan, Kalimantan, Ambon, Aceh, Nusa Tenggara, hingga Papua kerap dikecilkan atau malah dilupakan. Seolah-olah sejarah Indonesia hanya terjadi di Jawa dan Sumatra, dan hanya dibuat oleh segelintir tokoh besar.
Ini bukan sekadar soal arsip, ini soal keadilan ingatan.
Saat kita melupakan hari-hari penting itu, kita bukan hanya mengabaikan tanggal. Kita mengabaikan orang-orang yang berjuang di baliknya. Kita menghapus kontribusi daerah, meredam suara kelompok minoritas, dan memperkecil peran rakyat jelata. Kita membuat narasi bahwa kemerdekaan adalah hadiah elite, bukan hasil gotong royong bangsa.
Lalu apa akibatnya?
Anak-anak kita tumbuh dengan pengetahuan sejarah yang setengah matang. Mereka mengenal tokoh, tapi tidak konteks. Mereka hafal tanggal, tapi tidak makna. Mereka tahu 17 Agustus, tapi tidak tahu kenapa dan bagaimana ia bisa terjadi.
Sudah saatnya kita koreksi arah. Bukan dengan menghapus yang sudah ada, tapi dengan menambahkan apa yang selama ini hilang.
Sejarah adalah milik semua. Setiap peristiwa perjuangan, sekecil apa pun, layak dikenang dan dipelajari. Kita butuh kurikulum yang adil terhadap daerah. Kita butuh media yang tidak melulu memusat. Kita butuh peringatan-peringatan kecil yang dihidupkan kembali---bukan untuk seremoni, tapi untuk refleksi dan inspirasi.