Mohon tunggu...
syahrul marham
syahrul marham Mohon Tunggu... Guru - Belajar Sepanjang Hayat

Kuliah S1 di STAIN Kendari (2003), S2 di Universitas Negeri Jakarta (2007), saat ini menjadi Dosen di Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan IAIN Kendari

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Menuju Harmoni

26 Oktober 2013   17:46 Diperbarui: 24 Juni 2015   06:00 169
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Prolog: Harmonis Vs Chaos

Para filsuf memandang bahwa semesta ini merupakan susunan-susunan yang memiliki pola yang teratur, atau disebut harmoni. Dasar pikir ini menjelaskan pula bahwa semesta memiliki hukum-hukum keteraturan atas segala entitas yang berada di dalamnya, tak terkecuali manusia. Pertanyaannya adalah mengapa harmoni? Tentu saja banyak alasan yang dapat diajukan sehingga kita merumuskan anggapan bahwa harmoni adalah sifat dasar dari semesta. Pada aspek teologis (bagi yang percaya Tuhan), alasan yang paling popular bahwa Tuhan menciptakan semesta ini dengan maksud baik sehingga ditetapkanlah hukum-hukum keteraturan itu agar manusia dan entitas lain dapat hidup bersama dalam suasana yang baik. Bagi para saintis modern, temuan-temuan riset menunjukkan bahwa ilmu pengetahuan itu adalah konsepsi tentang hokum-hukum keteraturan yang berlaku di dalam raya. Jika demikian, maka harmonis merupakan bagian original dari semesta, dimana manusia adalah salah satu entitas di dalamnya.

Tidak dapat dipungkiri bahwa idealitas di atas mengalami penyimpangan-penyimpangan dalam kehidupan manusia. Walaupun manusia pada dasarnya adalah baik, tetapi perilakunya tidak selalu berbanding lurus. Sangat sering ditemukan perilaku manusia yang bertentangan dengan nilai-nilai kebaikan dari Tuhan maupun yang dikonstruksi oleh manusia melalui norma social, adat istiadat, dan local genius. Dengan demikian, pada manusia terdapat potensi baik dan buruk sekaligus, yang menjadi warna-warni dalam kiprahnya di muka bumi. Dalam konteksi inilah penting untuk melihat kecenderungan asal manusia dengan konteks pergaulannya pada ranah social yang lebih luas.

Manusia Sebagai Mikro Kosmos dan Kecenderungan Harmoni

Salah satu tinjauan filsafat menyebutkan bahwa semesta ini adalah Makro Kosmos, dengan manusia adalah Mikro Kosmos. Manusia merupakan miniatur dari semesta menurut pandang filsafat di atas, mengapa? Lagi-lagi menurut pandang filsuf seperti Ibnu Arabi bahwa susunan bangunan manusia itu adalah cerminan dari susunan alam raya yang besar ini. Jika manusia merupakan bentuk lain dari makro cosmos tersebut, seharusnya ia mengikuti pola-pola keteraturan sebagaimana yang berlaku pada semesta. Sesungguhnya manusia lahir yang kecendrungan suci, yakni tunduk, patuh, taat pada hukum-hukum dari sang invisible hand. Lingkunganlah yang memberi noda dari manusia suci itu, sehingga mulailah manusia melawan dirinya sendiri, dimana babak alienasi dimulai.

Inilah fakta-fakta keseharian yang mewarnai hari-hari manusia sampai ia hilang dimakan waktu (atau kembali kepada Tuhan bagi yang beragama). Manusia dari segi penciptaan sangatlah berbeda “fostur” dengan malaikat. Jika malaikat diciptakan sebagai makhluk yang taat secara mutlak, lain halnya dengan manusia yang menjalani ketaatan dengan sangat kritis. Kadangkala kritisisme manusia itu malah menjadikannya jauh dari ketaatan kepada Tuhan.

Walaupun demikian, karena manusia pada dasarnya adalah makhluk yang cenderung kepada kebaikan (hanief), maka sejauh apapun ia berbuat melawan kebenaran tetapi di kedalaman hatinya tetap mengakui bahwa itu tidak benar. Hanya saja, peringatan-peringatan nurani (moral) tersebut seperti bunyi dikejauhan yang sulit dikenali sehingga diabaikan keberadaannya. Sering pula kita saksikan, manusia-manusia yang lama berjalan pada formula melawan hukum semesta akhirnya kembali menyadari eksistensinya sebagai mikro kosmos (orang Islam menggunakan istilah Hidayah).

Aku “Yang Berjalan Menuju” Harmoni

Pertanyaan berikutnya adalah bagaimana dengan “Aku”? sebagai bagian dari manusia secara keseluruhan menyadari bahwa menjadi harmonis dengan diri atau malah chaos adalah pilihan individual. Saya menyadari bahwa manusia itu terdiri dari dua dimensi, yakni: fisik dan psikis, yang tidak dapat dilihat secara dikotomik. Keberadaan pisik adalah sebagai medium bagi psikis dalam mengejawantahkan posisi kita sebagai manusia. Sedangkan dimensi psikis itu harus dijaga agar tidak mengganggu fungsi-fungsi fisik. Dengan demikian, maka kedua dimensi ini harus dapat dikelola dengan baik, tepat, dan wajar.

Dapatkah kita harmonis dengan diri kita sendiri? Jawabannya bisa “ya” bisa “tidak”, tergantung definisi harmonis yang kita pahami. Jika memahami harmonis sebagai jalan lurus sesuai perintah agama, maka manusia akan memilih jalan itu secara konsisten hingga ia mencapai puncak ketenangan. Jika memahami harmoni sebagai tercapainya tujuan-tujuan pribadi, maka kita memilih pula jalan yang relevan dengan itu. Banyak jalan yang ditempuh manusia dalam rangka mencapai harmonisasi diri, mulai dari yang logis sampai mistis plus klenik. Secara pribadi, saya terus berupaya menjadi diri yang harmonis.

D.Epilog: Harmonis = Cinta Tak Bersyarat

Harmonis dengan diri sendiri bukanlah sesuatu yang terjadi seketika, pun juga tiba-tiba. Butuh proses yang serius dari pribadi untuk mencapai tingkatan ini. Secara empiric-historis, hanya manusia-manusia pilihan yang dapat mencapai derajat ini seperti: Ibrahim, Isa Almasih, Isa Almasih, Sidharta Budha Gautama, Lao Tse, dan sebagainya. Ibrahim mencapai puncak kecintaan kepada Tuhan setelah melalui proses panjang pencarian kebenaran. Demikian pulan Isa Al Masih dan Muhammad. Dalam pengembaraannya mencari jati diri, pangeran Sidharta Gautama akhirnya mencapai Bodhi, yakni ketiadaan, bahwa ada sama dengan tiada (dan sebaliknya), isi sama dengan kosong (dan sebaliknya). Demikian juga Lao Tse mengajarkan bahwa diri sebagai bagian dari semesta mesti menjalani hidup secara seimbang (yin-yang).

Manusia-manusia di atas akhirnya menemukan harmoni dalam kepasrahan dan ketundukan total kepada sang pencipta semesta. Sehingga segalanya selalu tertuju kepada zat yang Maha Tinggi, yang tidak dapat disejajarkan dengan materi dan sejenisnya. Sejarah membuktikan bahwa kecenderungan materialistiklah yang menggiring manusia pada permusuhan dengan sesamanya.

Harmonis sesungguhnya adalah cinta tak bersyarat. Dalam khazanah filsafat Yunani Kuno kita temukan bahwa cinta manusia terdiri dari tiga level, yakni:

1.Eros, yaitu cinta yang bersifat fisik-materialistik;

2.Filia (Sofia), yaitu cinta sahabat, keluarga, dan kebijaksanaan;

3.Agape, yaitu cinta tak bersyarat (platonik)

Sejatinya, menjadi manusia yang harmonis dengan diri sendiri yang akhirnya memancar pada harmonis dengan lingkungan, adalah dengan memupuk cinta filia dan cinta Agape. Fakta-fakta sosial saat dapat mengkonfirmasi bahwa fakor utama yang menyebabkan keterpurukan dalam peradaban manusia modern karena Eros sangat dominan dalam interaksi sosial kita. Sekian

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun