Korupsi di Indonesia sudah sangat mengkhawatirkan dan berdampak sangat buruk terhadap berbagai aspek kehidupan dan merusak sistem perekonomian, demokrasi, politik, hukum, pemerintahan, dan tata sosial kemasyarakatan Indonesia. Walaupun korupsi sudah begitu dahsyat, upaya pemberantasan korupsi yang telah dilakukan di Indonesia selama ini belum menunjukkan hasil yang optimal, sebab korupsi dalam berbagai tingkat dan elemen masyarakat terus terjadi dan seolah-olah sudah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. Korupsi bahkan dianggap sebagai hal yang biasa, jika kondisi ini tetap dibiarkan maka cepat atau lambat korupsi akan menghancurkan negeri ini
Lembaga Transparency International melalui Corruption Perception Index telah menempatkan Indonesia pada peringkat ke 88 pada tahun 2015. Sementara itu, lembaga World Audit menempatkan Indonesia pada posisi ke 77 dalam indeks korupsi dari 150 negara di dunia pada tahun yang sama. Menyusul, Corruption Perceptions Index (CPI) 2016 mengungkapkan bahwa Indonesia menempati 27 urutan ke 90 dari 176 negara korup di dunia. Jikalau dibandingkan dengan negara-negara Asean lainnya, maka peringkat Indonesia masih berada di bawah Malaysia (49), Brunei (58), dan Singapura (85).
Hasil survei Corruption Perception Index 2016 ini juga mengungkapkan bahwa Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia dinilai oleh masyarakat internasional dan masyarakat Indonesia sendiri sebagai lembaga negara paling korup di Indonesia. Menyusul, survei yang dilakukan oleh Global Corruption Barometer (GCB) tahun 2016 memperlihatkan bahwa 65% masyarakat Indonesia menganggap level korupsi meningkat dalam 12 bulan terakhir dan DPR tetap dipandang sebagai lembaga negara yang paling korup. Dinilai sebagai lembaga paling korup karena tiga alasan utama. Pertama, banyak sekali kasus korupsi di Indonesia telah melibatkan anggota legislatif di pusat maupun di daerah. Kedua, kinerja badan legislatif dalam menjalankan fungsinya maupun dalam memberantas korupsi internal dinilai berjalan tidak maksimal dan tidak sesuai harapan. Ketiga, persepsi tentang DPR sebagai lembaga negara paling korup juga dipengaruhi oleh pemberitaan media sosial dan elektronik tentang penangkapan, penyelidikan, penetapan, penahanan anggota legislatif oleh KPK karena kasus korupsi.
Tingginya indeks korupsi di Indonesia menunjuk kan bahwa masih terdapat begitu banyak pelaku korupsi dan kuatnya budaya korupsi di tanah air. Melihat kenyataan ini maka perlu dilakukan berbagai upaya secara kontinu dan sistematis untuk memberantas korupsi dengan tujuan menciptakan masyarakat dan pemerintahan Indonesia yang lebih baik, bersih, terbuka dan sejahtera.
Kata korupsi berasal dari bahasa Latin: "corruptio" atau "corruptus". Secara harafiah, kata korupsi mengandung arti kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral, bertentangan dengan kesucian (Karsona, 2011: 23). WS Poerwadarminta (1976) menjelaskan bahwa kata korupsi mengandung arti: kejahatan, kebusukan, dapat disuap, tidak bermoral, perbuatan-perbuatan buruk dan perilaku tidak jujur. Ali (1993) melihat korupsi sebagai perilaku busuk, suka menerima uang suap/sogok, menyalahgunakan kekuasaan untuk kepentingan sendiri. Jadi kata korupsi berkaitan erat dengan perbuatan buruk, jahat dan amoral yang dilakukan seseorang. Dari sudut pandang hukum, suatu perbuatan jahat dapat dikatakan sebagai tindak pidana korupsi bila memenuhi unsur-unsur tertentu, antara lain: berlawanan dengan hukum, penyalahgunaan kewenangan, serta penyalahgunaan kesempatan dan sarana publik demi memperkaya diri sendiri, orang lain dan korporasi tertetu.
Korupsi dapat dipandang dari berbagai perspektif keilmuan seperti hukum, politik, sosiologi, agama dan lain-lain. Ilmu hukum memandang korupsi sebagai suatu kejahatan (crime). Upaya pemberantasan korupsi pada tempat pertama dilakukan dengan memperkuat perangkat hukum termasuk undang-undang dan aparat hukum.
WHAT
Â
Apa konsep korupsi menurut teori Jack Bologne ?
Jack Bologne mengatakan bahwa keserakahan dan ketamakan merupakan akar dari kasus korupsi. Ia menjelaskan isi teori ini dengan menggunakan akronim "GONE": Greedy (G), Opportunity (O), Needs (N), dan Expose (E). Jika keempat variabel ini digabungkan maka hal ini akan membuat seseorang dengan mudah melakukan tindak pidana korupsi. Keserakahan (greedy) yang didukung dengan terbukanya kesempatan yang lebar (opportunity), dan diperkuat oleh kebutuhan (needs) akan menggerakkan keinginan dalam diri seseorang untuk melakukan tindakan korupsi. Keinginan untuk melakukan korupsi ini juga diperkuat oleh kondisi hukum yang tidak jelas dan memberikan hukuman terlalu ringan (expose) bagi para pelaku korupsi, sehingga tidak menimbulkan efek jera