Mohon tunggu...
Sahruel Gymnastiar
Sahruel Gymnastiar Mohon Tunggu... Mahasiswa

Saya mendedikasikan diri untuk hukum

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Fiqh Kontemporer : Menyikapi Perubahan Zaman dalam Lintas Pikiran

24 April 2025   14:13 Diperbarui: 24 April 2025   14:13 26
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Fikih adalah warisan intelektual Islam yang telah hidup selama berabad-abad, menjadi lentera dalam gelapnya zaman dan penuntun dalam kompleksitas kehidupan. Namun, di era digital ini, kita menghadapi persoalan-persoalan baru yang belum pernah dihadapi para ulama klasik: kripto, kecerdasan buatan, metaverse, bahkan fatwa seputar penggunaan filter wajah. Di sinilah "fikih kontemporer" memainkan perannya, sebagai jembatan antara otoritas teks dan realitas modern.

Fikih kontemporer bukanlah upaya untuk mengganti fikih klasik, melainkan sebuah respons kreatif terhadap dinamika zaman. Sebagaimana Imam Syafi'i pernah mengganti sebagian pendapatnya ketika berpindah dari Irak ke Mesir karena perbedaan konteks, hari ini para ulama pun dituntut untuk "berhijrah" secara metodologis---dari kitab kuning ke layar biru.

Pertanyaannya kemudian: apakah fikih masih relevan di tengah dunia yang bergerak serba cepat dan digital? Jawabannya: justru di sinilah relevansinya diuji. Sebab, ketika teknologi bergerak tanpa nilai, fikih hadir sebagai kompas etika. Fikih menjadi pagar moral di antara kemajuan yang sering kali berjalan lebih cepat dari kesadaran. Contohnya, penggunaan AI dalam menentukan keputusan hukum atau dalam aplikasi dating muslim---apakah boleh? Bagaimana jika algoritma mempertemukan dua orang dengan kriteria fikih yang belum tentu sesuai? Ini bukan sekadar soal halal-haram, tapi soal maqashid syariah---tujuan luhur dari hukum Islam.

Namun, fikih kontemporer juga menghadapi tantangan internal: resistensi terhadap pembaruan. Banyak yang masih menganggap fikih harus statis, literal, dan terlepas dari konteks. Padahal, dalam sejarahnya, fikih adalah medan ijtihad yang dinamis. Para ulama terdahulu berdialog dengan realitas zamannya; maka tugas kita hari ini adalah melanjutkan dialog itu, bukan memutuskannya.

Dengan kata lain, kita butuh fikih yang bukan hanya mengerti "apa yang terjadi", tetapi juga mampu "mengapa itu terjadi" dan "bagaimana seharusnya kita bersikap". Inilah fikih yang tidak sekadar normatif, tetapi juga transformatif. Fikih yang tidak hanya menjawab hukum, tapi juga membentuk kesadaran.

Era digital menuntut kita untuk tidak hanya menjadi konsumen teknologi, tapi juga produsen nilai. Dan fikih kontemporer adalah alat penting dalam produksi nilai itu. Maka, jika dulu ulama menulis fatwa dengan tinta dan kertas, hari ini mereka harus bisa menulisnya dengan kode dan piksel.

Fikih tidak mati. Ia hanya sedang mencari format baru. Dan mungkin, mihrab masa depan bukan lagi di masjid saja---tapi juga di ruang virtual, dalam metaverse, tempat manusia mencari makna dalam cara-cara yang belum pernah dibayangkan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun