Hari Raya Idul Adha selalu hadir dengan kehangatan yang khas. Bukan hanya tentang aroma kambing panggang dan suara takbir yang menggema, tapi juga tentang perenungan mendalam atas nilai-nilai pengorbanan, keikhlasan, dan cinta yang tulus. Di balik gemuruh suasana lebaran kurban, sesungguhnya ada banyak hikmah yang bisa kita petik—terutama bagi kita yang berprofesi sebagai guru.
Ya, guru. Profesi yang kadang dipandang biasa saja, tapi sejatinya menyimpan makna luar biasa. Seperti kisah Nabi Ibrahim yang menjadi inspirasi utama Idul Adha, kehidupan seorang guru pun penuh dengan episode-episode pengorbanan, ketaatan, dan harapan yang sering kali tak terucapkan.
Tentang Pengorbanan dan Dedikasi
Mari kita mulai dari hal yang paling jelas: pengorbanan. Siapa yang bisa menandingi keteguhan hati Nabi Ibrahim AS saat diperintahkan mengorbankan anaknya sendiri, Ismail? Sebuah ujian luar biasa yang butuh keimanan dan keberanian yang tak biasa.
Nah, meskipun tentu tak selevel dengan ujian itu, guru juga dituntut untuk berkorban dalam bentuk yang berbeda. Mengorbankan waktu istirahat, mengurangi waktu bersama keluarga, bahkan merelakan energi dan pikiran untuk memikirkan nasib murid-muridnya yang mungkin bahkan tak sadar sedang diperjuangkan. Pernah ada guru yang pulang malam karena harus menyiapkan bahan ajar esok hari? Atau yang tetap mengajar meski sedang tidak enak badan? Pasti banyak.
Tapi di situlah letak istimewanya. Pengorbanan seorang guru bukan soal paksaan, melainkan pilihan. Pilihan untuk tetap hadir, tetap peduli, dan tetap berharap bahwa semua jerih payah itu akan membawa perubahan bagi anak-anak bangsa.
Keikhlasan dalam Beramal
Kurban adalah simbol keikhlasan tertinggi. Memberikan sesuatu yang kita cintai tanpa berharap kembali, kecuali dari Tuhan. Guru juga sejatinya begitu. Tak semua guru akan mendapatkan ucapan terima kasih dari muridnya. Tak semua akan diundang saat muridnya sukses kelak. Bahkan tak sedikit yang jasanya nyaris dilupakan.
Tapi guru yang ikhlas tak akan berhenti memberi. Karena bagi mereka, mendidik bukan sekadar pekerjaan, tapi panggilan jiwa. Ada kebahagiaan yang tak bisa dijelaskan saat melihat wajah siswa yang tadinya tak paham, kini mengangguk penuh pengertian. Ada rasa haru saat anak yang dulu bandel, kini menyapa dengan sopan di pinggir jalan. Itulah pahala yang tak tertulis di slip gaji, tapi tercetak di hati.
Ketaatan dan Kepercayaan pada Proses