Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Menafsiri LGBT

4 Maret 2016   09:57 Diperbarui: 4 Maret 2016   10:34 114
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Wacana mengenai perdebatan status LGBT (Lesbian, Gay, Bisexual dan Transgender) seakan tidak pernah habis bahkan terus menjadi polemik ditengah-tengah masyarakat antara yang pro dan kontra dalam menyikapi bagaimana seharusnya kelompok LGBT ini diposisikan. Terlepas dari persoalan pro dan kontra mengenai status LGBT ini diterima atau ditolaknya menjadi bagian dari masyarakat, wacana mengenai hal ini tetap menarik untuk di dialog-kan dan didiskusikan ditengah-tengah kondisi masyarakat yang semakin plural.

Berbagai sudut pandang keilmuan mengenai status LGBT mulai menguak eksistensi dan arah gerakan kelompok ini yang keberadaannya tak dapat dipungkiri telah menjadi fakta sosial. Koran Republika beberapa hari belakangan ini, masih mengangkat isu LGBT sebagai topik diskusi menarik dengan menghadirkan beragam sudut pandang dari berbagai disiplin ilmu yang berbeda. Dari perspektif sosiologi, psikologi, budaya dan agama bahkan disiplin ilmu seperti neuroscience ikut andil dalam membongkar kondisi prilaku LGBT melalui perbandingan mengenai unsur-unsur syaraf dan struktur otaknya. Tujuan yang diharapkan hanya satu: benarkah LGBT merupakan kelainan mental (mental disorder) akibat penyimpangan prilaku ataukah memang sesuatu yang sudah given dari Tuhan sehingga keberadaannya tidak ada perbedaan dengan manusia lain pada umumnya? Lalu bagaimana menempatkan status LGBT dalam hal ini?

Kita memang dituntut bersikap objektif dalam menilai sesuatu apapun, terlebih hadirnya sains mampu menjadi alat analisis yang dapat dipertanggungjawabkan untuk mencari kebenaran  namun perlu juga disadari bahwa sains  bukanlah sumber kebenaran tetapi hanya alat dan cara untuk menemukan kebenaran itu sendiri. Muncul banyak kritikan terhadap status LGBT baik dilihat dari sudut kajian psikologis , sosial dan agama, bahkan belakangan muncul analisa ilmu kedokteran yang berbeda-beda dalam memandang dan menentukan status LGBT ini.

Baru-baru ini bahkan kita sempat terhenyak oleh adanya penafsiran baru mengenai status LGBT yang berbeda dari mainstream ditulis oleh Mun’im Sirry yang dimuat dalam laman sebuah situs (https://www.inspirasi.co/post/detail/5806/munim-sirry-menafsir-kisah-nabi-luth-secara-berbeda?utm_campaign=shareaholic&utm_medium=facebook&utm_source=socialnetwork) bahwa anggapan penolakan LGBT yang didasari oleh agama (dalam hal ini melalui kajian teks-teks al-Quran mengenai kisah Nabi Luth) adalah dapat terbantahkan dan tidak relevan. Karena misi al-Qur’an –menurut penulis artikel ini—semestinya harus dilihat pada pesan moralnya secara lebih luas, bukan secara spesifik menilai kebejatan prilaku LGBT itu sendiri. Analisisnya berpijak pada penafsiran mengenai prilaku kaum Luth yang terdapat dalam Q.S 26:165-166, bahwa secara umum para nabi (termasuk Nabi Luth as) mengemban misi pesan moral untuk disampaikan kepada kaumnya, ketika terjadi pembangkangan atau penolakan dari kaum tersebut, maka Allah menurunkan adzab kepada kaum tersebut.

Menafsirkan sebuah teks apalagi teks itu merupakan bagian dari kitab suci tentu sangat berimplikasi luas. Alih-alih dapat menyuguhkan informasi yang utuh, malah kita bisa terjebak dalam subjetivitas ego yang menyesatkan  jika tidak dibekali oleh pengetahuan sejarah al-Quran (asbabunnuzul), gramatika, serta sastra arab yang mencakup ilmu-ilmu balaghah, bayan dan ma’ani.

Dalam kajian hermeneutika, tradisi interpretasi terhadap kandungan dan isi teks-teks kitab suci (al-Quran) dikenal istilah tafsir dan ta’wil. Tafsir berarti mengurai ayat untuk mencari pesan yang terkandung dalam teks sedangkan ta’wil berarti menelusuri kepada orisinalitas atau ide awal dari gagasan yang terbungkus dalam teks. Dalam konteks keislaman, tradisi penta’wilan dapat kita telusuri dalam sejarah Mu’tazilah, Syi’ah dan Sufi. Kelompok yang disebutkan di awal cenderung memanfaatkan pengalaman mistis pribadi, sehingga teks-teks al-Quran digali dan dicari makna esoterisme-nya (makna batin) dan kelompok kedua cenderung mengedepankan pendekatan rasional-filosofis. 

Namun, pijakan mereka tetap sama, bahwa mengimani al-Quran sebagai kalam Tuhan tetap suci, sehingga kemudian melahirkan rasa hormat dan taat berbeda dengan sikap keilmuan an sich yang mengajak untuk berpikir kritis, bahkan jika perlu menggugat beberapa penafsiran yang mapan dan telah menjadi ideologi. Merasa tahu isi kandungan firman Tuhan seluruhnya, maka bisa dipastikan sombong atau bohong. Sebaliknya, meragukan sebagian atau keseluruhan kitab suci (al-Quran) jangan-jangan dianggap suatu pengingkaran atau keangkuhan.

Menurut hemat saya, analisa pembacaan terhadap teks (baca:hermeneutika) kitab suci memang masih di dominasi 2 aliran besar: transendentalisme-hermeneutik yang umumnya kemudian melahirkan kecenderungan secara tekstual dan literalis dalam memahami teks, sehingga kebenaran—menurut aliran ini—bisa berdiri sendiri dalam sebuah teks dan historis-psikologis yang berasumsi  bahwa sebuah teks memiliki kebenaran yang relatif, sehingga tidak ada kebenaran otonom yang berdiri sendiri apalagi ketika membaca dan menginterpretasi sebuah teks.

Saya melihat, bahwa apa yang ditulis Mun’im mengenai interpretasi teks-teks al-Quran mengenai Nabi Luth dan kaumnya tidak masuk dalam kategori tafsir ataupun ta’wil, tetapi lebih kepada menterjemahkan secara tekstual, sehingga pemahaman terhadap kasus homoseksual yang disinggung dalam cerita dalam teks itu menjadi absurd bahkan hilang. Kalupun kemudian berpijak pada ta’wil hanya pada keumuman pesan moral misi para nabi yang diambil dari keseluruhan makna ayat-ayat mengenai sejarah Nabi Luth as adalah terlalu naif. Terlebih lagi ketika kemudian argumentasi ini dikaitkan dengan mengambil ilustrasi dari kajian fiqh mengenai hukuman pelaku homoseksual yang berbeda-beda dari setiap mazhab fiqh, padahal fiqh sendiri merupakan elaborasi pemikiran dan pemahaman yang digali dari sumber otentisitas kitab suci dan dihadirkan dalam ranah realitas sosial yang ada pada waktu itu.

Imam Syafi’i misalnya yang disebut dalam tulisan Mun’im menghukumi para pelaku liwath (homoseksual) dengan analogi had zina, itu diungkapkan ketika di Iraq (qoul qodim) tetapi Imam Syafi’i kemudian berubah fatwanya dengan berpendapat bahwa hukuman para pelaku ini dengan hukuman mati ketika beliau bermukim di Mesir (qoul jadid). Artinya, terdapat perubahan ketika menetapkan hukuman sesuai dengan realita sosial yang dihadapi, tetapi tetap mengacu kepada tekstual dan kontekstual kitab suci. Adapun hukuman ta’zir yang dikemukakan Imam Hanafi mengenai hal ini merupakan ta’wil atas hadits yang berasal dari Rozin dan Ibnu Abbas bahwa Abu Bakar dan Ali bin Abi Thalib—yang saat itu menjabat sebagai khalifah—menghukum pelaku homoseksual dengan cara dibakar dan dipenggal (Syarh Ibnu Majah).

Hemat saya, memberikan legitimasi atau delegitimasi peran LGBT dalam realitas sosial tidaklah begitu penting, yang diperlukan adalah kejujuran dalam melihat realita sosial, bahwa prilaku LGBT yang mencoba menularkan dan bahkan mengajak orang lain untuk menjadi bagian mereka merupakan pelanggararan, apalagi ada unsur kesengajaan yang dibuat secara sistematis dengan tujuan melegalisasi pernikahan sejenis, itu jelas melanggar undang-undang. Semestinya, yang diambil dari pesan moral ayat-ayat yang berkaitan dengan cerita Nabi Luth adalah contoh prilaku golongan yang mempertuhankan hawa nafsu sehingga menjadikan mereka golongan orang-orang yang melampaui batas dan turun adzab Tuhan sebagaimana kaum Luth (lihat QS. 27:55 dan QS.45:23). Jadi, jika prilaku penyimpangan seksual yang dianggap oleh kelompok LGBT dan pendukungnya sebagai hal wajar dan manusiawi bahkan  menuntut legitimasi, jika itu diterima maka sama dengan menghargai pembodohan dan mengakui peran golongan yang melampaui batas (qoumun ‘aaduun). Wallahu a’lam bisshawab.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun