Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih

Lunturnya "Ikatan Ideologis" Pemilih di Pilkada Jakarta

16 Februari 2017   16:19 Diperbarui: 16 Februari 2017   16:33 283
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Pilkada DKI Jakarta yang baru saja digelar bagi saya cukup menarik. Hal ini terlihat dari warna-warni pemilih yang lebih di dominasi oleh keyakinan rasional mereka dibanding kekuatan ideologi yang berada di balik kepala para pemilih (voters). Lunturnya beragam ikatan ideologi bisa jadi disebabkan oleh semakin banyaknya para pemilih yang non-partisan dan mengambang (swing voters) yang biasanya didukung oleh tingkat pendidikan yang lebih merata dan seragam. Belum lagi oleh terbentuknya masyarakat modern berdasarkan pembagian kerja (division of labour), sehingga hampir dipastikan bahwa keterikatan masing-masing pemilih adalah karena hubungan pekerjaan, bukan karena keterikatan ideologi ataupun keyakinan.

Kondisi seperti ini justru semakin membuat para pemilih dalam lingkup kota-kota besar yang lebih heterogen, seperti Jakarta misalnya, semakin hari semakin kritis dan selalu mengevaluasi apa saja yang dilakukan oleh para kontestan politik. Rasionalitas para pemilih akan diukur melalui berbagai program yang berhasil dilaksanakan atau direalisasikan oleh para kontestan dan para pemilih bisa saja “menghukum” para kontestan yang kerap kali memberikan janji-janji politik yang justru menurut rasio para pemilih sulit atau tidak mungkin terlaksana. Dalam sebuah masyarakat rasional, petahana yang telah berhasil menjalankan berbagai program kerjanya secara nyata, justru lebih diuntungkan secara politik, karena para pemilih tentu sudah mengevaluasi dan merasakan kenyamanan dari berbagai program kerja yang terlaksana secara nyata.

Saya kira, dalam sebuah masyarakat modern yang heterogen, memang masih terdapat keterikatan ideologi dan kesamaan tujuan politik yang terdefinisikan kedalam kelompok konstituen yang seringkali menjelma sebagai mesin politik yang menjalankan strategi kontestasi, meskipun tidak begitu banyak dibanding masyarakat pemilih yang non-partisan. Yang jelas, keterikatan ideologi yang ada seringkali digantikan oleh semangat kalkulasi keuntungan ekonomis, sehingga hubungan lawan atau kawan pada akhirnya diukur dengan kepentingan-kepentingan politik maupun ekonomi. Inilah kemungkinan besar yang membuat bahwa isu-isu yang dihembuskan berdasarkan kecenderungan agama atau ideologi tidak berpengaruh secara signifikan dalam merubah keyakinan pemilih.

Melemahnya ikatan ideologi dalam kelompok pemilih dapat dilihat dari tingkat persentase yang diperoleh masing-masing kontestan di Pilkada Jakarta. Pasangan Calon gubernur petahana DKI Jakarta Basuki-Djarot mendapatkan persentase tertinggi diantara kandidat lainnya dengan perolehan angka 43 persen. Padahal, hiruk-pikuk kontestasi politik di Jakarta jauh melebihi daerah-daerah lainnya dengan lebih dahulu disemarakkan oleh isu-isu ideologis yang bersifat agama. Bahkan, status salah satu kandidat petahana yang sudah menjadi terdakwa dalam kasus penistaan agama, nampak tidak begitu terpengaruh oleh isu-isu ideologi lainnya yang sangat ramai digulirkan masyarakat. Barangkali proses memilih dalam pemilu tidak sama dengan praktek ekonomi dalam hal pembelian barang atau jasa. Jika seorang pemilih “salah” dalam memilih suatu barang atau jasa, maka nilai kegunaan (utility) barang tersebut berdampak langsung secara pribadi. Namun memilih dalam pemilu tidak akan berdampak ketika “salah” dalam memilih, karena pada hakekatnya “suara” individu akan berguna (useful) jika tergabung dalam jumlah besar.

Dalam beberapa hal, aspirasi politik masyarakat Jakarta bisa dikatakan sangat besar bahkan terkesan antusias ketika digelar kontestasi politik, seperti pilkada. Hal ini tercermin dari realitas sosial yang selalu saja dipandang sebagai realitas politik. Realitas sosial yang berasal dari beragam fenomena masyarakat kemudian dimaknai secara politis dimana seakan-akan bahwa segala sesuatu yang terjadi selalu dikaitkan dengan aspek legitimasi kekuasaan atau gairah akan pergantian kekuasaan. Ketika muncul semakin banyak permasalahan dalam masyarakat, maka realitas sosial serta merta menjadi realitas politik karena banyak pihak yang mempertanyakan efektifitas kekuasaan dalam penyelesaian berbagai masalah. Sehingga tidak aneh, jika yang terlihat justru migrasi dari persoalan sosial menjadi sebuah gugatan terhadap efektivitas kekuasaan politik yang ada. Diakui ataupun tidak, gerakan masyarakat yang dikaitkan dengan ideologi tertentu dalam bentuk beragam aksi di Jakarta merupakan contoh nyata dari migrasi dari realitas sosial menjadi realitas politik.

Saya kira, beragamnya informasi yang diterima oleh para pemilih di Pilkada Jakarta seakan menjadi gudang informasi yang overload dan tersimpan dalam setiap memori mereka. Informasi-informasi ini justru tidak seluruhnya bersumber secara langsung dari orang-orang atau media yang terpercaya, sehingga sangat mungkin bahwa masing-masing informasi yang diterima justru bersifat kontradiktif. Ditengah melimpahnya informasi seperti ini, para pemilih dihadapkan pada sebuah kondisi sulit untuk memilah-milah informasi. Para pemilih jelas akan semakin terbelah dan memiliki asumsi, apakah informasi ini benar-benar dari sumber terpercaya, apakah sekedar rumor politik yang hanya berdasarkan persepsi dan judgement sekelompok orang saja. Maka, yang paling memungkinkan adalah para pemilih akan cenderung rasional, memilih informasi yang berasal dari sumber yang terpercaya sesuai dengan keyakinan mereka sendiri.

Inilah sebabnya, rasionalitas para pemilih yang kemudian diukur melalui kedatangan mereka ke bilik-bilik suara relatif dapat dilihat lebih sederhana, kebanyakan dapat menjatuhkan pilihan mereka kepada siapapun, nyaris tanpa biaya ekonomis seperti halnya “memilih” dalam dunia bisnis. Para pemilih akan lebih berpatokan pada apa yang terlihat dan apa yang dirasakan oleh dirinya bahwa salah satu kandidat yang dia pilih adalah orang yang dapat secara yakin memberikan dampak keekonomian terhadap dirinya atau lingkungan dimana dia hidup. Jika tidak menguntungkan atau malah berpengaruh terhadap diri dan lingkungannya, tentu mereka akan merubah pilihannya. Walaupun memang, terkadang ada dorongan-dorongan ideologi atau budaya yang membantu menentukan pilihan mereka, namun sejauh ini, bisa dibilang tidak terlalu signifikan merubah kondisi pemilih untuk berpindah-pindah pilihannya.

Jadi, saya kira terdapat kompleksitas, ketaatan, kebimbangan dan ketidakpastian yang menghinggapi rasionalitas para pemilih pada saat dia harus menentukan pilihannya. Kondisi ini jelas bertarung dalam realita setiap pemilih dan pemilih akan lebih memilih jargon-jargon atau peristilahan politik yang lebih mudah dimengerti dan sederhana dibanding harus “dipaksa” berpikir dengan peristilahan politik apalagi ideologi yang cenderung rumit bagi dirinya. Para pemilih hanya memiliki waktu singkat untuk berpikir apalagi masing-masing pemilih juga memiliki keterbatasan analisis dalam soal informasi politik. Sehingga, para pemilih dipastikan lebih memberikan pilihannya yang konsekuensi logisnya terikat dan condong kepada program-program kerja kandidat yang relatif telah berhasil.

Asumsi saya, bahwa ketika politik yang bersifat rasional dan keduniaan kemudian dipertentangkan dengan nilai-nilai budaya apalagi keyakinan keagamaan ditengah kondisi masyarakat yang jauh telah berubah dari cerminan masyarakat tradisional ke arah modern, apalagi dengan tergantikannya ikatan-ikatan primordial, ideologi atau budaya dengan ikatan-ikatan keekonomian yang saling menguntungkan, maka ikatan-ikatan ideologi semacam itu akan cenderung kandas dan kurang mendapatkan simpati dalam masyarakat. Walaupun ikatan emosi keagamaan melemah diantara para pemilih, namun tetap saja bahwa modenisasi dan globalisasi tidak akan mampu menggusur solidaritas keagamaan sebagai sebuah kekuatan sosial. Namun lagi-lagi, solidaritas keagamaan tidak bisa linier dengan solidaritas politik yang bersifat keduniawian, karena keduanya selalu berada dalam dua ruang yang berbeda. Politik yang imanen dan keyakinan ideologi keagamaan yang transenden, keduanya sulit dipersatukan yang bisa hanya salah satu mengisi dan menularkan nilai-nilai moral kepada yang lainnya.  

Wallahu a'lam bisshawab

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun