Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Di Balik Kekuatan Sebuah Doa

7 Maret 2017   10:42 Diperbarui: 7 Maret 2017   10:59 825
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Bagi sebagian orang yang cenderung mengedepankan sisi rasionalitas yang ada dalam dirinya, doa hanyalah sebatas “angan-angan” dimana ia merupakan ungkapan hati yang tidak ada hubungannya dengan keberhasilan atau kegagalan seseorang dalam menjalani kehidupan. Doa dianggap hanya spontanitas setiap orang saja tanpa memiliki kekuatan apapun untuk merubah keadaan. Namun, bagi sebagian orang yang meyakini, doa adalah harapan yang selalu pasti terwujudkan, walaupun kadang tidak selalu sesuai oleh apa yang diinginkan seseorang. Dengan demikian, doa selalu barada pada dua dimensi sekaligus, tergantung bagaimana seseorang memahaminya, ia bisa menjadi sakral dan profan, absolut dan relatif serta historis dan metahistoris. Walaupun, memaknai doa harus berangkat dari dimensi keimanan, karena keimanan akan mampu menjelaskan segala macam objek yang bersifat metafisis.

Tidak ada konsep keberagamaan dimanapun yang tanpa melibatkan doa didalamnya. Doa adalah ibadah, bahkan intisari dari ibadah yang diyakini oleh seluruh umat beragama di dunia. Eksistensi sebuah agama adalah karena adanya ritual dan doa, tanpa keduanya sudah tentu bukanlah agama. Dalam tradisi Islam, doa dilakukan minimal lima kali dalam setiap sehari yang terwujudkan dalam rangkaian ritual sholat. Seluruh rangkaian sholat yang dilakukan oleh seluruh umat muslim adalah doa, sejak mulai mengangkat tangan hingga menutupnya dengan salam. Oleh karena itu, doa-doa yang dilakukan umumnya mengikat dalam ritual keagamaan—seperti halnya sholat—bernilai sakral dan terbatasi secara ketat oleh aturan-aturan syariat yang mengatur tata-cara berdoa seperti ini. Niat, bersuci terlebih dahulu dan memakain pakaian yang bersih merupakan tatacara berdoa yang telah ditentukan oleh ajara Islam. Sehingga pada akhirnya, doa yang dipanjatkan kepada Tuhan seperti dalam sholat, akan tampak lebih “bernilai” dibandingkan doa yang sekedar didasari oleh spontanitas.

Setiap orang, siapapun, tentu pernah memiliki pengalaman-pengalaman yang menarik dengan doa, sekalipun dia tidak meyakini sepenuhnya, bagaimana dan seperti apa doa yang seharusnya diucapkan agar sanggup menembus ruang metafisis yang ada diluar jangkauan dirinya. Mungkin termasuk diri saya, yang pada awalnya berdoa sebatas ungkapan “keluhan-keluhan” terus menerus kepada Sang Pencipta. Kecemburuan dengan pihak lain yang lebih beruntung, kegagalan yang dialami, sakit yang diderita atau segala macam yang memperlihatkan kondisi ketidakstabilan selalu kemudian terlontarkan lewat bait-bait doa yang saya panjatkan. Memang sulit dipungkiri, bahwa pada kenyataannya kebanyakan diantara kita berdoa hanya mengadukan keluh-kesah yang terkadang akibat rasionalitas tak mampu lagi menjawabnya, sehingga area irasional kitalah yang kemudian mendialogkannya. Doa semestinya menjadi permintaan “khusus” setiap orang kepada Tuhannya, bukan sekedar berkeluh-kesah yang diungkapkan disaat kita terkena musibah.

Seseorang yang berdoa berarti ia sedang berdialog dengan Tuhannya. Dialog yang tak ada seorangpun tahu dan mengerti, kecuali hanya dia dengan Tuhannya. Jika berdialog dengan manusia, tentu seringkali banyak kesalahan atau ketidaktepatan dalam pemilihan kata, kurang jelas atau tidak saling memahami, lain halnya ketika berdialog dengan Yang Maha Pencipta, kalimat-kalimat yang meluncur adalah kata-kata baik, kata-kata indah yang tak mungkin “terpeleset” selama apapun waktu proses dialog itu berlangsung. Tuhan tidak membutuhkan pemahaman dari doa manusia, karena Tuhan pasti mengerti dan selalu memahami apa yang sedang berkecamuk di setiap relung hati yang paling dalam dari setiap keinginan manusia.

Doa ibarat kita datang ke sebuah restoran yang kita sendiri belum mengetahui, seperti apa makanan yang tertera dalam deretan menu-menu yang tersedia. Tanpa harus kita tahu seperti apa “bentuk” makanannya, namun dengan keyakinan kita menunjuk menu yang kita inginkan dan diserahkan kepada pelayan, maka makanan yang menjadi pilihan kita tentu akan segera disediakan. Disinilah “kekuatan” sebuah doa yang tanpa harus dituntut adanya pemahaman dalam proses sebuah dialogis. Dengan berdoa, maka seseorang mampu menghadirkan sebuah “realitas yang absen” yang hanya bisa diungkapkan dengan iman karena nalar bertekuk lutut sebab keterbatasannya.

Jika berdialog dengan manusia, tentu selalu ada tatakramanya, terlebih jika kita berdialog dengan Tuhan.  Sebagai seorang muslim, saya meyakini bahwa doa merupakan kalimat-kalimat terindah yang terucap dari bibir setiap orang, penuh kayakinan dan harapan sehingga selalu merasa rendah dan kecil dihadapan Tuhan. Manusia hanyalah mikrokosmos, bagian terkecil dari ciptaan Tuhan yang terindah dan sempurna dan alam raya ini adalah makrokosmosnya. Sehingga cara yang paling efektif untuk “mengintip” eksistensi dan keindahan Tuhan dapat diekspresikan lewat untaian-untaian kalimat yang meluncur dari bibir dan hati yang yakin, yaitu doa.

Rasanya tidak ada kalimat yang paling indah, terkecuali doa. Inilah yang kemudian mendorong saya terus menerus berprasangka baik terhadap Tuhan, karena dengan demikian, Tuhan-pun sudah semestinya akan selalu berprasangka baik sebagaimana yang diprasangkakan oleh hamba-Nya. Doa ternyata memiliki kekuatan yang luar biasa untuk mengubah kehidupan seseorang yang tidak melulu diukur berdasarkan kalkulasi materi dan keekonomian. Dengan doa, seseorang yang berada dalam kekurangan materi sekalipun, ia akan tetap merasa cukup, karena apa yang dilihat oleh orang lain hanyalah pandangan yang memiliki keterbatasan, belum mampu menembus sisi terdalam yang dirasakan orang lain. Jika manusia-pun merasa tersanjung ketika ada orang lain yang meminta pertolongannya, terlebih teman dekatnya, demikian pula Tuhan, justru lebih senang ketika ada manusia yang meminta kepada-Nya.

Doa bisa menjadi energi terkuat (inner power) yang tak bisa dikalahkan oleh apapun, ketika seseorang memasrahkan diri sepenuh keyakinannya kepada Tuhan. Berapa banyak orang yang terselamatkan oleh doa, karena energi yang begitu besar mendorong kekuatan dari dalam dirinya. Bagi saya, doa tidak sekedar “kata-kata” atau kalimat-kalimat indah yang dipanjatkan kepada Yang Maha Agung, tetapi lebih dari itu, ia merupakan energi tak kasat mata yang mampu mewujudkan banyak harapan yang tertunda. Doa ibarat energi tak terhingga yang sulit dijangkau akal manusia, tetapi seseorang yang selalu yakin dengan kekuatan doa, pasti mampu merasakannya. Berdoalah, karena dengan kalimat-kalimat yang meluncur dari bibir kita yang dipanjatkan kepada Yang Maha Agung, pasti akan mendapatkan jawaban dari-Nya, jawaban yang tak pernah kita duga sebelumnya.

Wallahu a'lam bisshawab

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun