Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Agama, Pancasila, dan Fantasi Politik

13 Februari 2020   11:16 Diperbarui: 13 Februari 2020   11:12 154
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Ketika agama menjadi sumber moral bagi masyarakat, maka seluruh nilai-nilai praksis agama tentu saja diakui secara universal, mengandung kebaikan bagi siapapun dan dalam tahap tertentu justru dapat menjadi pemersatu atas dasar kesamaan nilai moral yang dianut oleh setiap kebudayaan atau tradisi masyarakat. Agama, memiliki "moralitas absolut" karena setiap gelombang transenden yang terpancar dari dalam diri manusia, akan berdampak pada prilaku seorang beragama, melewati batasan relativitas moral yang berasal dari budaya atau tradisi dimana ia berinteraksi dengan lingkungannya.

Islam, jelas memiliki landasan moral yang dibangun oleh rajutan ayat-ayat Al-Qur'an bahkan diperkuat oleh tradisi yang diyakini sebagi sunah Nabi yang berkelindan, menghamparkan nilai-nilai moral yang berfungsi sebagai petunjuk bagi realitas kebahagiaan manusia, lahir dan batin. Agama dan moral terintegrasi dalam diri seorang Muslim, sehingga keduanya saling memiliki ketergantungan (interdependensi) secara absolut. Hanya mengedepankan moral saja dan menganggap agama kurang penting, jelas berbahaya, karena kering dari nilai transenden yang pada akhirnya moralitas sekadar kulit luar yang ketika tidak lagi dianggap kebaikan, ia terlepas dari konsekuensi hukum moral-nya. Disisi lain, beragama tanpa moral, jelas sesat bahkan agama dapat dipakai sebagai "alat pembenaran" yang dapat menjatuhkan hukuman salah kepada siapa saja yang tidak sama dengan cara pandang dogmatisme-teologisnya.

Pancasila, tidak identik dengan moralitas terlebih agama, sebab dari istilah semantiknya saja tampak lebih condong berkonotasi budaya. Sekalipun moralitas juga berasal dari kebudayaan, Pancasila secara normatif lebih memberikan gambaran atas falsafah hidup masyarakat Nusantara di masa lampau. Istilah "Pancasila" sendiri telah disebut dalam buku Negarakertagama, yang mengulas sejarah Kerajaan Hindu-Majapahit (1296-1478). Itulah sebabnya ketika digulirkan Soekarno dalam pidatonya tanpa teks di sidang BPUPKI, segera muncul banyak kritikan soal tema falsafah negara ini yang oleh Sutan Takdir Alisyahbana dianggap terlalu berlebihan karena sila-silanya bersifat heterogen dan saling kontradiktif.

Kritik Takdir terhadap Pancasila tentu saja mendapat sambutan hangat dari wakil-wakil Islam, seperti Hamka yang memuji sastrawan kenamaan ini yang telah mengakui paradoksnya Pancasila. Saifuddin Zuhri, tokoh NU pun bersikap sama dengan Hamka, bahwa pendapat Takdir cukup jelas bahwa Pancasila masih banyak kekurangan serta didalamnya mengandung pertentangan-pertentangan. Sekalipun Takdir menerima Pancasila, namun semata-mata itu demi terciptanya suatu kompromi politik dan inilah sesungguhnya yang juga menjadi landasan para tokoh bangsa menerima Pancasila, disaat kebuntuan bentuk negara harus segera terwujud demi kedaulatan negeri Indonesia yang baru saja merdeka.

Suatu kompromi politik tentu saja masih menyisakan persoalan krusial, yang dalam banyak hal belum mampu menopang secara utuh pilar-pilar kedaulatan negara karena terbukti hanya beberapa tahun setelah Indonesia merdeka, berbagai tantangan disintegrasi muncul. Pemberontakan Darul Islam di Jawa Barat (1947), disusul gerakan pemisahan diri di Maluku (1950) dan diperkuat oleh suat pemberontakan di Aceh (1953). Gambaran ini sedikit menunjukkan, betapa proses integrasi politik belum sepenuhnya berjalan mulus, sekalipun kompromi politik telah mapan di tingkat elit.

Diakui maupun tidak, Pancasila dalam berbagai kepemimpinan politik nasional, kerap kali dipergunakan sebagai alat politik, ketimbang mengintegrasikan nilai-nilai filosifisnya terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara. Di era Soekarno sendiri, Pancasila seolah hendak 'direvolusi' melalui gagasan utopisnya "nasakom". Parahnya, rivalnya Soeharto yang berkuasa lebih dari 32 tahun, sukses memperalat Pancasila untuk membungkam keterbukaan politik dan demokrasi benar-benar terpasung oleh rantai-rantai ologarkis yang memanfaatkan Falsafah Negara ini demi tujuan-tujuan status quo kaum elitis. Dalam banyak hal, Pancasila tak lebih sekadar alat politik yang nilai-nilainya-pun terasa kabur ditengah tafsir hegemonik rezim Orde Baru dibawah kepemimpinan Soeharto.

Persoalan Pancasila sebagai Dasar Negara yang pernah memaksa keseragaman ideologi politik melalui fusi parpol, terasa tetap problematik hingga sekarang. Sampai-sampai, kegelisahan mengusik Yudi Latif, mantan ketua BPIP yang mengundurkan diri, dimana ia merasa perlu merevolusi Pancasila karena penyakit politik yang dideritanya justru kian ganas mengebiri hak-hak politik warganegara dalam banyak hal. Dengan bahasa yang cukup sarkastik, Yudi menyebut Indonesia seolah "neraka di tanah surga" dimana wajah paradoks negeri ini yang memiliki Pancasila sebagai falsafah bernegara yang ideal semakin tampak mengerikan. Konsep ideal Pancasila yang semestinya secara "integralistik" menyatukan yang partikular, baik perbedaan kepentingan kelompok, ideologi politik, atau agama dan kepercayaan, justru yang terjadi sebaliknya: disintegrasi, intoleransi, inkonsistensi, dan bahkan telah melampaui batas kepolitikan yang wajar.

Musuh-musuh Pancasila yang seharusnya kelompok kontra-revolusi (Pancasila) dalam partai dan lembaga politik, kekuatan kapitalisme, pro-neoliberalisme dalam dunia akademik, kleptokrasi dan pemburu rente dalam birokrasi, mereka yang kontra persatuan, pelaku budaya dan media yang latah mempromosikan nilai-nilai materialisme, hedonisme, banalisme, non-egaliter, fundamentalisme ekstrem keagamaan, fundamentalisme sekuler yang anti agama, para oprtunis yang hampir kesemuanya tidak memiliki landasan moral, malah dianggap paling bermoral dan disebut "Pancasilais". Lucunya, agama yang semestinya menjadi pelecut nilai-nilai moral kemanusiaan yang lebih dekat dengan ideologi Pancasila, justru seolah dianggap musuh yang bertentangan dengan Pancasila.

Indonesia tentu saja masyarakat religius dalam pengertian bahwa keberagamaan telah benar-benar menjiwai segenap anak bangsa, sehingga jika terdapat hal apapun yang tidak sesuai dengan ajaran agama, wajar jika mendapat penolakan bahkan perlawanan. Jiwa dan semangat kemerdekaan tak bisa dilepaskan dari entitas agama yang justru telah membangkitkan patriotisme melawan ketidakadilan dan kezaliman kolonialisme sebagaimana terbukti pada era revolusi. Agama sebagai "identitas" personal sekaligus komunal, sepakat melebur dalam suatu identitas nasional dengan mengakui Pancasila sebagai realitas tertinggi dalam konteks berbangsa dan bernegara sekalipun secara tidak langsung telah meminggirkan peran agama.

Saya sendiri, sekalipun memaklumi kegelisahan banyak orang, merasa bahwa Pancasila seolah tetap sekadar dipahami dan dipergunakan sebagai "alat politik", belum pada tahap bagaimana nilai-nilainya yang luhur dipedomani dalam konteks sosial-politik. Sebagaimana tawaran Yudi Latif merevolusi Pancasila, sekalipun tampak agak malu-malu dengan bersembunyi dibalik alasan semantik, dengan mendefinisikan ulang "revolusi"  sebagai "kembali lagi" untuk menghindari pengertian sebagai perubahan total dengan cara "kekerasan" terhadap seluruh aspek sosial-politik.  Pancasila tetap harus "direvolusi" dan bukan sebatas "direformasi" nilai-nilai luhurnya. Ini artinya, bahwa Pancasila semakin menjauhi pusaran ideal konsep berbangsa dan bernegara, bahkan menabrak batas-batas moral agama. Padahal, ketika revolusi dipahami sebagai "kembali lagi" (to revolve), saya khawatir selain terjadi lagi perdebatan seperti di masa lalu, Pancasila akan diperas menjadi "gotong royong" yang kering nilai-nilai transenden sebagaima "ketuhanan" justru berada di sila terakhir ketika pertama kali Soekarno menjelaskan konsep ini di sidang BPUPKI. Padahal, "kemerdekaan atas berkat Allah Yang Maha Kuasa", menunjukkan negeri ini religius dan menjunjung tinggi aspek-aspek moralitasnya. Saya kira, bukan Pancasila-nya yang direvolusi, tetapi para penguasa dan sistem kekuasaannya yang harus direvolusi, sebab kebanyakan sistem rekruitmen politik mencerminkan "inmeritokrasi", tidak menempatkan orang-orang berprestasi dalam kekuasaan, tetapi sekadar mengikat janji dengan orang atau kelompok orang yang diangkat melalui fantasi-fantasi politik tingkat tinggi.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun