Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Tradisi Religius "Nishfu Sya'ban" di Indonesia

12 April 2019   11:48 Diperbarui: 14 April 2019   15:12 83
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Namun, sebagai suatu peradaban, Islam tentu saja berkembang secara berbeda---bahkan mungkin tak ada yang sama---diantara berbagai belahan dunia sebagai bentuk penghayatan mereka terhadap agamanya. 

Kebudayaan yang lebih luas yang berkaitan dengan Islam, tentu saja beraneka ragam dan heterogen, sehingga tradisi-tradisi kultural yang dibentuk oleh Indonesia, hendaklah dipandang sebagai bagian yang membentuk peradaban Islam di Nusantara tersendiri yang terpisah dari kebudayaan Islam secara global.

Ketika suatu tradisi religius itu "menyatu" dalam konteks dialektika antara agama dan peradaban, maka sulit ketika kebiasaan tradisional itu diberangus atau dihilangkan. Tidak saja upaya gigih kaum modernis---bahkan seringkali tampak berlebihan---bahkan di masa-masa kolonial, tradisi keagamaan semacam ini kerapkali dinilai bentuk "fanatisme" oleh penguasa Hindia Belanda. 

Sekalipun saya meyakini, bahwa segala hal yang bermuatan "religius" disatu sisi yang menjadi praktik kebiasaan masyaratakat, pada akhirnya ia membentuk semacam kekuatan "spiritual" yang menggabungkan "kepasrahan pribadi" (muslim) dan penghargaan atas tradisi dan agama ("Islam", dengan huruf besar). 

Bagi saya, tradisi "nishfu sya'ban" tidak saja merupakan warisan kekayaan budaya lokal yang diserap melalui ekspresi keberagamaan, namun sebagi bentuk penghormatan terhadap sahabat Nabi yang menyebut "nishfu sya'ban" terkait secara historis dengan peristiwa turunnya Alquran.

Saya justru beranggapan, bahwa diantara sekian banyak masyarakat yang kemudian keukeuh menuduh mereka yang tetap menghidupkan tradisi "nishfu sya'ban", justru lebih "fanatik" dengan tidak mengakui bahwa peradaban Islam dibangun oleh jaringan tradisi dan kultur yang secara lokal, menyerap ajaran-ajaran Islam secara lebih akomodatif. 

Alih-alih mereka gigih melakukan apa yang mereka anggap sebagai "pemurnian" ajaran Islam, mereka justru terkadang terjerembab dalam suasana fundamentalisme, yang cenderung "kaku" dalam memandang suatu peradaban Islam yang besar. Keberadaan tradisi seperti "nishfu sya'ban"---bagi saya---justru erat dengan nuansa spiritual keagamaan yang mengambil bentuknya secara "fundamentalis" dari ajaran Islam paling awal.

Pada akhirnya, saya sendiri berkesimpulan, bahwa masyarakat Indonesia secara keseluruhan---terutama dominasi muslim-nya---adalah masyarakat "religius" sejak dari awal terbentuknya. 

Dimensi religiusitas ini tentu saja ditunjukkan oleh orientasi mereka yang kental terhadap komitmen-komitmen kosmiknya---bahwa manusia bagian dari alam raya dan harus seimbang dengan alamnya---dimana dalam pandangan Islam, hal ini berarti bahwa terdapat suatu perasaan---dalam bahasa Hudgson---transendensi kosmik yang dapat kita lihat secara lebih konkret pada bentuk praktik-praktik secara ritual maupun simbolis dalam perjuangan terhadap dunia "supranatural". Itulah "manusia Indonesia" dengan beragam tradisi dan budayanya yang kemudian hidup secara damai dengan ajaran-ajaran Islam dan berkelindan membangun peradabannya tersendiri. ***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun