Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Sufisme: Kesalehan Etik dan Militansi Politik

8 April 2019   14:55 Diperbarui: 8 April 2019   15:05 104
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Para pengkaji sejarah Islam Indonesia, tentu akan gagal memahami jika tak menyertakan gerakat tarekat yang hidup bersama realitas keberagamaan masyarakatnya. Maka wajar, jika Indonesia kerap menjadi tuan rumah bagi berbagai perhelatan sufisme internasional, sebab disinilah tokoh-tokoh sufisme lahir dan dikenal seluruh dunia.

Cukup sulit rasanya memisahkan realitas kesalehan mistik dengan militansi politik---terutama dalam makna yang lebih artifisial---dimana kenyataan corak sufisme belakangan justru lebih "modern" yang selalu saja menghubungkan suatu kesalehan mistik yang bersifat pribadi dan kenyataan-kenyataan sosial-politik yang sulit dihindari.

Barangkali yang masih tersisa adalah "simbolisasi" dunia sufisme yang mewujud dalam bentuk "tirakat" atau cara berbusana yang dinilai nyentrik, sisanya bercampur dengan unsur modernitas, baik itu ketokohan, afiliasi dan kecenderungan politik, akomodasionis terhadap kekuasaan, dan nuansa kemewahan duniawi yang sulit dihindari. Sekalipun saya masih meyakini, masih ada sekelompok tarekat yang cenderung menjauhi unsur modernitas dan lebih memegang prinsip-prinsip moralitas, namun tentu saja jumlahnya terlampau sedikit. Namun demikian, saya semakin memahami, bahwa akar kesejarahan Islam Indonesia tentu saja "sufistik" (berpandangan asketis-mistis).

Bahkan, bukan suatu kebetulan, dimana praktik-praktik tradisi yang kemudian dianggap bid'ah atau khurafat oleh gelombang reformisme Islam pada abad keduapuluh, ternyata telah menemukan akarnya dalam bentuk format Islam paling awal yang dipraktikkan di Mekah dan Madinah. Para ulama Nusantara tentu saja mempelajari sufisme dan masuk dalam keanggotaan tarekat yang diajarkan para gurunya selama di Mekah dan terutama Madinah. Sehingga, munculnya gelombang reformis, lebih kental nuansa politis daripada soal aktivitas pemurnian dalam hal keagamaannya.

Selamat berkumpul para tokoh sufi dunia di negeri di mana akar sufisme pernah mendunia dan tetap asketis di tengah godaan kemewahan dunia!  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun