Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Debat dan Ayat-ayat Politik

22 Februari 2019   22:58 Diperbarui: 22 Februari 2019   23:33 99
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Analisis Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Sebenarnya agak kaget juga ketika ada salah seorang tim pemenangan salah satu paslon menyatakan bahwa debat kedua nanti yang diramaikan oleh masing-masing pasangan cawapres, memungkinkan akan memunculkan ayat-ayat (Alquran). 

Apakah hal ini terkait dengan Ma'ruf Amin yang seorang kiai? Ataukah kedudukannya yang saat ini masih sebagai ketua MUI, sehingga memungkinkan mengeluarkan fatwa-fatwa politiknya terkait posisi dirinya sebagai politisi? Sejauh yang saya tahu, debat capres sepertinya tak perlu menyetir ayat-ayat Alquran, terlebih kemudian ayat-ayat itu sekadar dipergunakan sebagai "pembenar" dalam hal politik kekuasaan.

Saya kira, konteks debat capres yang lebih umum dan terbuka, akan sangat bermasalah ketika masih menempatkan Ma'ruf sebagai kiai, karena konteks debat bukan majelis taklim atau kajian rutin yang memang dibutuhkan penguat dengan suatu argumentasi keagamaan dengan menggunakan ayat-ayat Alquran. 

Dalam realitas debat, yang menjadi sohibul bait tentu saja cawapres, bukan kiai, ulama, pengusaha, atau orang pintar. Jadi, menempatkan Ma'ruf sebagai cawapres tentu saja lebih penting daripada menempatkan beliau sebagai kiai. Tidak semua orang memahami ayat, apalagi dalil-dalil, bahkan mungkin lawan debatnya sendiri.

Jangan sampai, suatu perdebatan politik yang masing-masing menunjukkan, menguji, dan mempertahankan setiap  visi-misi soal masa depan bangsa lalu menjadi ajang demonstrasi ayat-ayat Alquran yang dimanfaatkan menjadi dalil-dalil bagi pembenaran politik. 

Pemilih saat ini sudah cenderung rasional, sehingga penggunaan ayat-ayat politik dalam konteks "legitimasi" seringkali tak dipercayai bahkan mungkin lebih banyak pemirsa yang tak memahami. Saya kira, legitimasi keagamaan dalam pribadi Ma'ruf sudah mulai hilang, karena ia saat ini sudah tak lagi cocok diposisikan sebagai kiai, tetapi lebih pas disebut politisi.

Debat capres-cawapres sudah cukup menjadi euforia masing-masing kubu, sekadar meluapkan kegembiraan mereka dalam mendukung dan meramaikan jagat media. Sekalipun saya memiliki keyakinan tersendiri, bahwa debat tidak begitu berpengaruh terhadap realitas pemilih, kecuali dalam debat itu ada nuansa majelis taklim atau pengajian bulanan mungkin saja berdampak serius pada rasionalitas pemilih. 

Penggunaan ayat-ayat politik tidak sesuai tempat dan kondisinya, malah dapat menjadi blunder tersendiri dan berdampak lebih jauh terhadap para pemilih rasional. Saya kira akan lebih menarik, jika perdebatan dilakukan layaknya para politisi yang saling ancam dan saling tuding ketika paslon yang didukungnya dikritik.

Mungkin saja debat cawapres nanti menjadi tidak lagi menarik, karena inti perdebatan sesungguhnya adalah "debat capres" bukan "debat cawapres". Debat ini sudah terwakili oleh masing-masing capres sehingga cawapres hanya ikut mengamini saja dibelakangnya. Debat cawapres malah tak lagi seru, melihat dari dua kandidatnya yang terpaut berbeda jauh dari sisi umur. Ibarat bapak dan anak, pasti ada momen-momen tertentu dimana keduanya akan kikuk dalam suasana debat. 

Terlebih, jika masih cocok istilah "santri post-islamisme" yang disematkan kepada cawapres Sandi dan "kiai besar NU" yang disematkan kepada Ma'ruf, rasa-rasanya debat cawapres mendatang hanya ajang nasehat-manasehati dan salam-salaman.

Soal debat cawapres juga tak perlu rasanya mendudukkan mereka dalam posisi-posisi akademis yang bukan tempatnya dalam konteks politik. Baik cawapres Sandiaga yang bergelar master bisnis dari Amerika dan Ma'ruf yang belum lama ini mendapat gelar profesor dari UIN Malang, rasa-rasanya lebih banyak tak bermanfaat dalam arena pertarungan debat. Setiap cawapres pasti membawa visi-misi kepolitikan yang sama dengan capresnya, sehingga barangkali tak ada materi baru, kecuali hanya melengkapi atau mengisi yang kurang dari visi-misi masing-masing capresnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun