Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Menakar Polemik Kunjungan Yahya Staquf ke Israel

18 Juni 2018   20:52 Diperbarui: 18 Juni 2018   21:11 919
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Polemik soal kunjungan Yahya Cholil Staquf ke Israel atas undangan American Jewish Committee (AJC) untuk berbicara di salah satu forum pendukung eksistensi Israel ICFR seperti mempertontonkan klaim berbagai pihak yang tak henti-hentinya. 

Bukan saja soal NU sebagai ormas Islam dimana dirinya sebagai Sekjen (Katib Aam) yang "dimusuhi", bahkan keberadaannya yang baru saja dilantik menjadi Wantimpres seolah memposisikan negara memberikan dukungan terhadap Israel. Walhasil, keberadaan dirinya di negara Zionis tersebut menuai kegaduhan yang hebat dan menuai kemarahan banyak pihak. 

Hampir sulit jika beropini hanya sekadar memberikan dukungan kepada Yahya agar perhelatannya di Israel dapat menjembatani konflik Israel-Palestina yang semakin sulit diselesaikan, karena pasti dituduh mendukung Israel terus menjajah Palestina.

Saya juga termasuk yang sulit beropini bahwa apa yang dilakukan Yahya semata-mata mencoba alternatif lain untuk "masuk" dalam lingkaran polemik secara lebih softly melalui forum kuliah umum menjelaskan relevansi agama-agama---termasuk hubungan Islam-Yahudi---yang sejauh ini seperti tercipta sebuah "kebencian" yang menyejarah. Yang paling banyak dibicarakan dalam suatu wawancaranya dengan Rabbi David, dirinya mengungkit romatisme Gus Dur yang dulu pernah berangan-angan mempelopori perdamaian Israel-Palestina melalui jalur lain, termasuk membuka hubungan diplomatik dengan Israel. 

Memahami arah pemikiran Gus Dur dalam konteks ini memang sulit diterima banyak pihak, terlebih Israel dan Yahudi sudah sedemikian dipersepsikan umat muslim sebagai "musuh" akibat berbagai kejahatan kemanusiaan yang dilakukan kepada bangsa Palestina.

Yahudi dan Israel sudah kadung dimusuhi sejak dulu, bahkan seolah-olah permusuhan itu didasarkan atas perbedaan agama. Bukan suatu kebetulan, bahwa banyak bertebaran dalam teks suci al-Quran yang sepertinya perlu reinterpretasi agar nuansa kebencian yang ditimbulkan bukan karena agama, tetapi karena adanya pengingkaran atas hubungan-hubungan kemanusiaan yang seringkali dilakukan bangsa Israel. 

Dasar yang begitu kuat dan melekat akibat penerimaan atas teks kitab suci yang membicarakan kaum Yahudi sebagai "musuh agama" menimbulkan rasa kebencian yang teramat sangat kepada mereka. Saya kira, Yahya sebagai bagian dari muslim moderat, perlu menjelaskan duduk perkara yang sebenarnya soal bagaimana hubungan Islam dengan Yahudi.

Bagi saya, soal bersedianya Yahya ke Israel meskipun atas nama pribadi, tetap sulit dipisahkan secara tegas dengan ke-NU-annya. Parahnya, kedudukan dirinya sebagai orang penting di Istana justru semakin menambah rumit jika dirinya disebut hanya mewakili pribadi bukan mewakili NU atau pemerintah. Itulah kemudian polemik bertambah panjang, karena tentu saja NU yang tidak merasa mendukung Israel lalu dipersalahkan gara-gara sekjennya bertandang ke Israel. 

Berbicara di forum Israel, terlebih dipelopori umat muslim seakan mencederai setiap upaya perdamaian, bahkan seperti memberikan angin segar bagi upaya diplomatik Israel mencari dukungan dan pembenaran dari kalangan Islam. Itu pula yang kemudian menjadi keberatan pemerintah Palestina ketika mengetahui perwakilan muslim Indonesia berbicara soal perdamaian di forum tertinggi Yahudi.

Saya kira, upaya Palestina untuk memperoleh kemerdekaannya memang selalu gagal, bahkan dalam forum diplomatik yang tanpa kekerasan sekalipun. Entah dengan cara seperti apalagi untuk dapat meluluhkan hati bangsa Israel agar mau berdamai dan mengakui Palestina merdeka. 

Kenapa kedua komunitas ini (baca: Arab dan Yahudi) sulit sekali dipersatukan dalam satu wilayah damai tanpa konflik dan kekerasan. Apakah memang itu takdir sejarah yang telah diskenariokan Tuhan? Ataukah memang kenyataan ini adalah buntut panjang dari konflik antaretnis dan kekuasaan politik? Ataukah karena keduanya sama-sama "keras" dalam menyelesaikan setiap masalah? Wallahu a'lam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun