Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Merekonstruksi Ketakwaan dalam Dimensi Kemanusiaan

3 Mei 2018   15:16 Diperbarui: 3 Mei 2018   15:26 567
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Sejauh ini, konsep takwa dalam ajaran Islam selalu dipahami sebagai sikap menjalankan seluruh perintah dan menjauhi segala larangan Tuhan. Pemaknaan ini tentu saja benar, walaupun seringkali tereduksi sebatas ketaatan secara vertikal kepada Tuhan, seraya melupakan prinsip-prinsip kesalehan sosial. 

Istilah "taqwa" yang terambil dari akar kata "waqa" yang berarti "menjaga", "melindungi" atau "memperbaiki" erat sekali kaitannya dengan prinsip kesalehan sosial. Seseorang yang mampu mengaktualisasikan dirinya, melalui penjagaan terhadap segala perbuatan buruk atau kemaksiatan; melindungi diri dan keluarganya dari kemiskinan, kebodohan atau keterbelakangan;  dan memperbaiki setiap kekurangan atau kesalahan yang ada pada diri terkait lingkungan sekitarnya, merupakan aktualisasi ketakwaan yang jarang sekali diungkap.

Menarik ketika ayat al-Quran menyebut prinsip ketakwaan merupakan bekal yang paling baik selama manusia meniti kehidupannya di dunia. "Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertakwalah kepada-Ku hai orang-orang yang berakal" (QS. 2:197). 

Bekal, tentu saja tidak selalu identik dalam wujud materi yang dibawa ketika melakukan perjalanan, namun yang terpenting justru kesiapan mental-spiritual. Membawa bekal secara materi pasti terikat waktu dan kondisi yang tentu saja akan lapuk, rusak, atau habis, lain halnya dengan bekal takwa yang justru semakin bertambah bukan berkurang bahkan tak akan habis terkikis.

Ketakwaan ibarat energi potensial yang mewujud melalui aktualisasi kekaryaan, aktivitas, atau kerja nyata yang justru dirasakan manfaatnya oleh masyarakat. Itulah kenapa, orang bertakwa dalam banyak hal menempati struktur tertinggi secara sosial, karena hasil karyanya yang nyata bermanfaat dan diakui oleh masyarakat. 

Bukankah Tuhan menyatakan bahwa derajat keluhuran setiap orang diukur dari ketakwaannya? Bukan karena latar belakang keturunannya, kekayaan, atau status sosial dirinya dalam masyarakat. Ketakwaan adalah nilai kesempurnaan seseorang dihadapan Tuhannya, bukan sekadar ketaatan ibadahnya,tetapi karena aktualisasi nilai-nilai kehidupannya secara nyata.  

Ketika Allah menegaskan bahwa takwa adalah bekal terbaik, maka tak ada perbekalan yang paling sempurna untuk menuju kehadirat-Nya, kecuali amal perbuatan yang mewujud dalam karya nyata. 

Takwa tak lain merupakan buah kebaikan dari setiap karya yang diwujudkan dan dirasakan manfaatnya oleh banyak orang. Takwa adalah kreativitas dan aktualisasi dari setiap potensi kemanusiaan yang terus dikumpulkan menjadi perbekalan yang selalu kita kumpulkan sepanjang hidup, sebenar-benarnya dan sebaik-baiknya bekal di hadapan sang Khalik. 

Oleh karenanya, ketakwaan disebut Rasulullah sebagai puncak tertinggi dari kesempurnaan, tercerabut dari ruang  perbedaan kemanusiaan secara fisik-materialistik. "Tak ada bedanya Arab bukan Arab, berkulit hitam atau berkulit merah, kecuali karena ketakwaannya (karya nyatanya) yang bermanfaat", demikian penggalan salah satu hadis dari Rasulullah.  

Ketakwaan hanya dapat digapai dan dipahami oleh mereka yang mampu memaksimalkan fungsi akal sehatnya, karena dengan akalnya, manusia mampu menempati kedudukan paling mulia disisi Tuhan. Bukankah orang yang paling banyak amalnya adalah mereka yang berilmu pengetahuan? Ilmu erat kaitannya dengan potensi akal yang diaktualisasikan. 

Bukan suatu kebetulan, setelah Allah memerintahkan agar membekali diri dengan ketakwaan, lalu secara khusus Allah berdialog dengan orang-orang berakal, melalui ungkapan-Nya, "Wattaquuni yaa ulil albaab" (bertakwalah kepada-Ku, wahai orang-orang yang berakal).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun