Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Tak Pernah Mimpi Jadi Penulis

23 Oktober 2017   12:49 Diperbarui: 23 Oktober 2017   13:02 394
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Jika dalam melihat fenomena seseorang bisa menjadi politisi karena dua hal: by design dan by accident, maka menjadi penulis-pun rasanya tidak jauh berbeda. Menjadi seorang penulis yang by design, tentu saja melalui serangkaian belajar secara formal dalam sekolah menulis, entah itu latar belakang pendidikan jurnalistik ataupun mengikuti berbagai kursus resmi dalam menulis.

Penulis yang tumbuh besar secara by design, dipastikan memiliki standardisasi teori yang tampak diaplikasikan dalam setiap karya tulisnya. Berbeda halnya dengan penulis yang lahir by accident, yang umumnya memberdayakan potensi menulisnya melalui kebiasaan yang secara terus menerus diolah, sambil belajar secara trial and error, sehingga "bakat alamiahnya" dalam menulis semakin menguat dan pada akhirnya, menulis menjadi hobi yang sangat menyenangkan.

Jika boleh saya sendiri menilai, perkenalan saya dengan dunia tulis-menulis adalah by accident karena saya tidak pernah memiliki latar belakang jurnalistik atau pernah mengenyam kursus-kursus menulis serupa yang sengaja saya ikuti. Saya mulai menulis pertama kali sejak 2016 adalah di Kompasiana dan itu-pun tanpa pernah disengaja atau berniat bahwa saya berkeinginan menjadi penulis.

Perkenalan dengan Kompasiana justru ketika saya masih aktif menjadi staf lepas di DPR, mengisi konten berita salah satu situs pribadi anggota DPR RI dari Fraksi PAN, Viva Yoga Mauladi. Pak Yoga---demikian saya memanggil anggota DPR asal Lamongan tersebut---menyuruh saya untuk membuatkan akun di Kompasiana, karena dirinya ingin sekali menulis seputar kegiatannya di Komisi IV DPR yang terkait dengan pertanian, kehutanan dan lingkungan.

Seusai membuatkan akun di Kompasiana untuk Pak Yoga, saya kemudian melihat-lihat fitur yang ada di dalamnya, sampai saya kemudian membaca beberapa artikel dan saya ingin sekali menanggapinya. Ada dorongan yang sangat kuat, bahwa saya harus menulis jika ingin menanggapi berbagai tulisan atau isu-isu kekinian yang banyak diulas oleh para narablog di situs blogger paling beken di dunia maya ini.

Dari sinilah saya mulai menulis, dan tulisan pertama saya adalah soal LGBT yang waktu itu diposting oleh seseorang, lalu saya mencoba menanggapinya dengan tulisan sebagai counter atas polemik dirinya soal LGBT, khususnya di Indonesia. Karena LGBT yang ditulis tersebut tidak diposting di Kompasiana, tetapi saya tergelitik untuk bisa mempostingnya di situs Facebook saya, agar khalayak bisa memahami, bahwa saya melakukan kritik atas tulisan LGBT yang diposting seseorang di situs lain dengan melakukan argumentasi keagamaan.

Di awal-awal menulis di Kompasiana, tulisan saya jelas kaku, dibahasakan secara kurang membumi, bahkan jauh dari kesan sebuah tulisan enak dibaca secara mengalir. Tulisan itu jelas saya sendiri yang menilai, dengan membaca tulisan saya sendiri berulang-ulang sehingga jatuh pada sebuah kesimpulan: tulisan saya masih tidak layak menjadi sebuah opini yang menggugah minat pembaca untuk melanjutkan bacaannya.

Beberapa kali saya menulis dengan mengangkat isu-isu yang sedang hangat diperbincangkan, semakin saya terdorong untuk terus menulis, karena kebiasaan dan belajar dari tulisan-tulisan orang lain, akan menambah wawasan menulis saya lebih kaya dan beragam, terutama soal penggunaan bahasa tulis yang dapat menggugah minat pembaca. Rasa penasaran saya terus menguat, bahkan waktu itu, ingin sekali tulisan saya diangkat menjadi headline di Kompasiana.

Dari berbagai opini yang saya tulis, semakin memiliki kemajuan karena saya sendiri menilai bahwa tulisan saya lambat-laun semakin baik dan mengalir sebagaimana penilaian yang datang secara pribadi dari diri saya sendiri. Tahun 2016 adalah tahun "panas" dalam hal politik dan itu tentu saja hal menarik bagi saya, karena memang saya pernah mengenyam pendidikan formal dalam ilmu-ilmu politik.

Saya seperti sedang mengingat masa-masa kuliah saya di kelas ilmu politik UI, bagaimana para dosen saya membangun argumentasi dalam menilai berbagai fenomena politik yang terjadi di negeri ini. Saya terus mencoba "melawan lupa" merefleksikan kembali teori-teori politik yang pernah saya pelajari ketika masih aktif kuliah: membaca, merekonstruksi dan membangun argumentasi melalui serangkaian tulisan yang saya buat di Kompasiana.

Gairah menulis saya tiba-tiba semakin membuncah, ketika satu tulisan saya soal "Peluang Ahok di Pilgub DKI" diangkat menjadi opini headline di Kompasiana. Ini adalah pertama kalinya tulisan saya terpampang di halaman paling atas situs Kompasiana dan tentu saja diakses oleh ribuan pembacanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun