Di era digital, media sosial telah menjadi ruang utama bagi Generasi Z dalam mencari informasi, termasuk dalam hal agama. Platform seperti YouTube, TikTok, Instagram, dan Twitter kini menjadi sumber utama bagi mereka untuk belajar tentang nilai-nilai keagamaan, interpretasi ayat suci, hingga diskusi mengenai isu-isu keislaman kontemporer. Namun, di balik kemudahan akses tersebut, terdapat tantangan besar berupa misinformasi, hoaks, dan penyebaran paham ekstrem yang dapat menyesatkan.
Fenomena ini mencerminkan urgensi untuk membangun ekosistem digital yang aman bagi Generasi Z dalam belajar agama. Media online harus didesain sebagai ruang yang tidak hanya menyajikan informasi keagamaan yang kredibel tetapi juga interaktif, menarik, serta bebas dari narasi kebencian dan radikalisme. Oleh karena itu, diperlukan model dan konsep media online yang mampu menjawab tantangan ini.
Kredibilitas sebagai Pondasi Utama
Langkah pertama dalam membangun media online yang aman untuk belajar agama adalah memastikan bahwa sumber informasi berasal dari pihak yang kredibel. Saat ini, tidak sedikit konten keagamaan yang dibuat oleh individu tanpa latar belakang akademis yang jelas atau tanpa bimbingan dari ulama yang kompeten. Hal ini menimbulkan potensi penyebaran informasi yang tidak valid atau bahkan bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam yang moderat.
Untuk itu, media online harus bekerja sama dengan lembaga keagamaan seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI), Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, dan institusi pendidikan Islam. Kolaborasi ini dapat memastikan bahwa semua materi yang disajikan telah melalui proses verifikasi dan dapat dipertanggungjawabkan. Selain itu, setiap platform yang menyediakan pembelajaran agama harus memiliki sistem kurasi yang ketat, di mana konten yang diunggah harus melalui proses seleksi yang jelas sebelum dipublikasikan.
Algoritma yang Mendorong Konten Edukatif
Saat ini, algoritma media sosial lebih banyak mengedepankan engagement, yang sering kali berarti bahwa konten yang provokatif, kontroversial, atau sensasional lebih mudah viral dibandingkan konten yang edukatif. Hal ini menjadi masalah ketika narasi ekstremisme dan hoaks keagamaan lebih banyak muncul di beranda para pengguna dibandingkan dengan konten yang membangun pemahaman agama yang damai dan toleran.
Sebagai solusinya, media online harus mengembangkan algoritma yang secara aktif mendorong konten edukatif dan moderat ke dalam feed pengguna. Sistem ini dapat bekerja dengan memberikan prioritas lebih tinggi kepada konten dari sumber yang terpercaya dan mengurangi visibilitas terhadap informasi yang belum tervalidasi atau berpotensi mengandung unsur kebencian. Selain itu, harus ada fitur "Fact-Check" yang memungkinkan pengguna untuk mengecek keabsahan informasi sebelum menyebarkannya.
Interaksi dan Partisipasi Generasi Z
Generasi Z adalah kelompok yang aktif berinteraksi di dunia digital. Mereka lebih suka belajar melalui format yang interaktif dibandingkan dengan metode konvensional seperti ceramah panjang. Oleh karena itu, platform belajar agama harus menghadirkan pendekatan yang lebih engaging, misalnya melalui forum diskusi berbasis komunitas yang dimoderasi oleh akademisi dan ulama, chatbot AI Islami yang dapat menjawab pertanyaan keagamaan secara instan, serta kuis interaktif yang memungkinkan pengguna menguji pemahaman mereka terhadap materi yang telah dipelajari.
Selain itu, format konten juga harus disesuaikan dengan preferensi Generasi Z. Video pendek di TikTok atau Instagram Reels, podcast berisi diskusi santai, serta infografis di Instagram dapat menjadi cara efektif untuk menyampaikan ajaran agama dalam bentuk yang lebih mudah dipahami. Gamifikasi pembelajaran, seperti sistem poin atau leaderboard untuk pengguna yang aktif, juga dapat meningkatkan ketertarikan mereka untuk terus belajar.
Literasi Digital dan Kampanye Anti-Hoaks
Meskipun akses informasi semakin mudah, tidak semua pengguna memiliki keterampilan literasi digital yang baik. Banyak dari mereka yang cenderung langsung mempercayai informasi yang mereka temukan di internet tanpa melakukan verifikasi. Oleh karena itu, kampanye literasi digital sangat penting untuk mengedukasi Generasi Z tentang bagaimana cara memilah informasi yang valid dan mengidentifikasi hoaks.
Program edukasi ini dapat berupa webinar, video edukatif, hingga workshop yang mengajarkan teknik dasar dalam memverifikasi berita, memahami sumber yang kredibel, dan mengenali pola penyebaran hoaks di media sosial. Selain itu, para kreator konten dan influencer dakwah juga harus diberikan pelatihan khusus agar mereka dapat menyampaikan materi agama dengan pendekatan yang lebih moderat dan inspiratif, tanpa harus terjebak dalam retorika yang berlebihan atau provokatif.