"Eh, tolol!" "Dasar bodoh!" Kalimat-kalimat seperti ini tidak lagi terdengar asing ditelinga kita, apalagi di lingkungan remaja. Apa yang dulu dianggap sebagai umpatan kasar kini sering dianggap "biasa" dalam pergaulan. Fenomena ini tidak hanya mencerminkan pergeseran budaya komunikasi, tetapi juga membawa dampak pada pembentukan karakter dan kepribadian generasi muda.
Sebagai mahasiswa Akuntansi Universitas Andalas, kami melihat bahwa bahasa yang digunakan seseorang, terutama sejak remaja, dapat menunjukkan banyak hal: tingkat kedewasaan, cara berpikir, dan nilai-nilai yang dianut. Di dunia akuntansi, tempat kami meniti masa depan, komunikasi yang sopan dan etis adalah bagian dari profesionalitas. Maka tak heran jika kami menaruh perhatian khusus pada bagaimana remaja masa kini menggunakan kata-kata dalam keseharisannya.
Ketika Bahasa Menjadi Cermin Emosi
Penelitian yang kami lakukan melalui survei Google Form terhadap sesama mahasiswa akuntansi angkatan 2024 menunjukkan bahwa mayoritas responden menilai kata kasar sebagai tanda ketidakmampuan dalam mengelola emosi. Remaja yang mudah melontarkan kata kasar sering kali berada dalam kondisi mental yang belum stabil atau belum memeiliki kontrol diri yang baik.
Hal ini sejalan dengan teori Santrock (2011), yang menyebut masa remaja sebagai fase pencarian identitas. Dalam proses ini, remaja kerap mencoba berbagai bentuk ekspresi, tapi itu termasuk dalam bentuk kekerasan verbal
Dipengaruhi Media dan Budaya Gaul
Media sosial turut memainkan peran besar. Banyak konten viral justru memperlihatkan kata-kata kasar sebagai "bumbu" hiburan. Ini berbahaya karena dapat membentuk budaya permisif: kekerasan dianggap lucu, pemberani, bahkan keren. Menurut Holmes (2013), bahasa adalah simbol identitas sosial. Maka ketika bahasa kasar menjadi dominan, bisa jadi itu adalah cermin dari nilai yang sedang "diagungkan" di lingkup pergaulan remaja
Strategi Sosial yang Keliru
Kami juga menemukan bahwa sdebagian remaja menggunakan bahasa kasar bukan karena marah, tetapi agar bisa diterima di lingkungannya. Ini disebut konformalitas sosial: mengikuti gaya bicara kelompok agar merasa "masuk". Tapi efek jangka panjangnya, menurut kami, bisa membentuk karakter yang permisif terhadap kekerasan verbal, bahakan mungkin mengarah ke bentuk kenakalan remaja lainnya.Â
Dampak Ke Masa Depan
Sebagai mahasiswa akuntansi, kami dibentuk untuk menjadi profesional yang menjunjung tinggi etika. Jika kebiasaan berkata kasar tidak dikorekasi sejak dini, kami khawatir hal itu akan terbawa ke dunia kerja. Seorang profesional yang sering menggunakan bahasa tidak sopan tentu akan sulit memebangun kepercayaan dengan rekan ataupun klien.
Mari Dididik, Bukan dibiarkan
Kami tidak sedang menghakimi remaja yang sesekali emosi dan melontarkan kata kasar. Semua orang bisa khilaf. Namun, jika itu menjadi kebiasaan, maka perlu ada campur tangan dari orang tua, sekolah, bahkan media.
Bahasa yang baik bukan soal kepura-puraan, tetapi soal penghargaan terhadap diri sendiri dan orang lain. Mari kita mulai membangun budaya komunikasi yang sehat dari lingkungan terdekat. Karena dari sanalah masa depan yang beradap dimulai.
"Kata-kata mencerminkan siapa kita. Jika ingin dihormati, belajarlah untuk menghormati orang lain lewat bahasa yang kita pilih"
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI