Mohon tunggu...
Syaefunnur Maszah
Syaefunnur Maszah Mohon Tunggu... Senior Human Capital Strategist, Sekjen Parsindo, Wakil Ketua Peradi DPC

Concern pada masalah sosial kebangsaan.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Tarif: Trump Puji Prabowo "Really Great President"

17 Juli 2025   15:14 Diperbarui: 17 Juli 2025   16:06 77
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Trump puji Prabowo. (Sumber: republikaonline)

Kesepakatan dagang baru antara Indonesia dan Amerika Serikat yang menurunkan tarif ekspor dari 32 persen menjadi 19 persen mendapat sambutan positif dari pelaku usaha nasional. Penurunan ini dinilai memberi keunggulan kompetitif baru bagi Indonesia di pasar AS, di tengah meningkatnya tensi proteksionisme global dan ketatnya persaingan antar negara Asia Tenggara.

Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Shinta Kamdani, menyebut hasil ini sebagai "jauh lebih baik dari usulan awal" dan memperingatkan bahwa Indonesia harus terus mencermati posisi negara-negara tetangga dalam negosiasi mereka dengan Washington. "Karena setiap perubahan bisa menggeser ulang dinamika persaingan regional," ujarnya dalam laporan The Jakarta Post.

Beberapa negara ASEAN justru menerima perlakuan tarif yang lebih tinggi: Malaysia sebesar 25 persen, Laos dan Myanmar 40 persen, serta Thailand tetap di angka 36 persen. Hanya Vietnam yang berhasil menurunkan tarifnya menjadi 20 persen dari sebelumnya 46 persen. Dalam hal ini, posisi Indonesia dengan tarif 19 persen tergolong kompetitif dan menjadi salah satu capaian penting menjelang transisi kepemimpinan nasional.

Namun, penurunan tarif bukan tanpa risiko. Kepala Ekonom BCA, David Sumual, mengingatkan bahwa masuknya produk-produk bebas bea dari AS dapat menekan industri dalam negeri, terutama manufaktur dan usaha kecil. "Investor asing bisa melihat peluang, tetapi pelaku industri lokal bisa merasa terancam jika tidak ada kebijakan mitigasi yang jelas," katanya.

Untuk menganalisis fenomena ini, kita bisa mengacu pada teori keunggulan komparatif dari David Ricardo, yang menekankan bahwa setiap negara sebaiknya fokus pada ekspor produk yang paling efisien diproduksinya. Tetapi dalam konteks negara berkembang, liberalisasi dagang tanpa penguatan kapasitas produksi bisa menjebak ekonomi dalam ketergantungan pasar luar dan melemahkan sektor strategis nasional.

Menariknya, kesepakatan ini terjadi bersamaan dengan peningkatan hubungan personal antara Presiden Prabowo Subianto dan Presiden AS Donald Trump. Dalam sebuah pernyataan publik, Trump menyebut Prabowo sebagai "really great President, very popular, very strong, and smart." Pujian ini, selain simbolik, memiliki dimensi politis dan ekonomis yang bisa membuka jalan bagi kemitraan dagang yang lebih erat di masa depan, namun juga membawa ekspektasi dan tuntutan yang tidak ringan.

Trump dikenal dengan pendekatan ekonomi yang transaksional dan keras dalam tawar-menawar. Maka, sekalipun relasi pribadi antara Trump dan Prabowo tampak hangat, Indonesia harus tetap menegosiasikan kepentingannya dengan hati-hati. Pengalaman negara lain menunjukkan bahwa "kemesraan diplomatik" dengan AS tidak selalu berbanding lurus dengan keuntungan ekonomi nasional bila tidak diimbangi kebijakan yang tegas dan berdaulat.

Peluang yang muncul dari penurunan tarif ini cukup besar, khususnya bagi sektor tekstil, alas kaki, furnitur, produk agrikultur, dan komponen otomotif. Namun, perlu diingat bahwa daya saing bukan hanya soal tarif rendah, tetapi juga menyangkut efisiensi produksi, kecepatan logistik, dan kepastian hukum. Tanpa pembenahan di aspek-aspek ini, keunggulan tarif bisa menjadi semu.

Pemerintah Indonesia perlu segera menyusun strategi penguatan sektor industri domestik, terutama yang terdampak langsung oleh potensi banjir produk impor AS. Kebijakan insentif fiskal, perlindungan selektif berbasis sektor, serta program akselerasi ekspor UMKM harus segera digulirkan. Pemerintah juga perlu mengaktifkan perwakilan dagang untuk mengawal implementasi kesepakatan ini, sekaligus mendorong negosiasi yang lebih progresif.

Dalam konteks pemerintahan Prabowo, diplomasi ekonomi harus menjadi prioritas strategis. Pujian dari Trump memang menggembirakan, tetapi perlu dijawab dengan performa kebijakan ekonomi yang konkret dan berdampak pada industri dan tenaga kerja lokal. Momentum ini bisa menjadi tonggak, namun bisa pula menjadi bumerang jika tidak diiringi manajemen risiko yang tepat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun