Salah satu tema pokok tentang Pancasila adalah kedudukannya sebagai ideologi. Rata-rata mengamini bahwa Pancasila merupakan kesepakatan-dasar yang sangat strategis dalam mempersatukan keragaman dalam masyarakat. Juga, sepakat bahwa Pancasila mesti menjadi ideologi terbuka yang dinamis menerima dan merespons perubahan.Â
Hanya saja, masih ada kerancuan istilah ketika kata ideologi dihadapkan dengan filsafat dan pandangan-dunia (weltanschaung). Yudi Latif yang kemudian memberikan penjernihan terhadap kerancuan tersebut (Wawasan Pancasila, Mizan, 2018). Menurut Yudi, filsafat adalah hasrat memandang realitas sedalam-dalamnya, sementara weltanschaung atau pandangan dunia (world-view) adalah sikap dan pendirian hidup orang/sekelompok orang tentang kehidupan. Di sisi lain, ideologi adalah weltanschauung ilmiah. Kemudian, ideologi bisa pula berupa filsafat yang dimanifestasikan sebagai pendirian hidup lengkap (keyakinan normatif, kerangka interpretatif, dan operatif dalam dunia kehidupan).
Di lain pihak, ideologi lengkap seperti di atas ditolak oleh Rocky Gerung jika berfungsi sebagai pengatur (Prisma Edisi Pancasila, 2018). Justru, Pancasila harus didudukkan sebagai filsafat yang memandu nalar dan kegiatan kritis, alih-alih bersifat doktriner ala ideologi, pun dengan embel-embel ideologi terbuka. Atau, semacam kesepakatan dasar saja sebagai landasan etis bagi kehidupan publik warga negara. Singkatnya, Pancasila sebagai etika publik dan filsafat penuntun.Â
Sebagai contoh, sila Keadilan Sosial akan menuntun kita berbicara akrab soal apa itu keadilan dan bagaimana mencapainya (misalnya, sistem ekonomi apa yang tepat) tanpa dibebani dengan doktrin cekokan dari negara atau institusi apa pun.
Sementara itu, Budi Hardiman (Prisma Edisi Pancasila, 2018) berargumen bahwa Filsafat Pancasila bertugas memberikan pendasaran rasional bagi ideologi Pancasila, di mana ideologi sendiri didefinisikan sebagai doktrin yang lengkap dan siap pakai. Tambahan lagi, filsafat Pancasila diposisikan sebagai diskursus rasional tentang kehidupan bersama secara politis. Adapun dalam mengemban tugasnya itu, Filsafat Pancasila harus mengolah tegangan-tegangan kreatif---contoh kolektivisme versus individualisme, teokrasi versus sekularisme, kapitalisme versus sosialisme---yang begitu berlimpah disediakan Indonesia yang majemuk.Â
Ini diperkuat oleh Daniel Dhakidae (Jurnal Prisma Edisi Pancasila, 2018) yang mengkritik kecenderungan solipsistis dalam pendapat bahwa Pancasila bersifat hierarkis-piramidal. Maksud dari solipsistis adalah Pancasila bagai sirkuit tertutup yang saling menafsirkan sila-silanya sendiri, sehingga Pancasila menjadi sakti dan "bak jatuh dari langit." Itu juga yang dimaksud Robertus Robert (Jurnal Prisma Edisi Pancasila, 2018) dengan kondisi "antinomi Pancasila," yaitu kondisi di mana ideologisasi dan filosofisasi Pancasila secara berlebihan justru membekukannya dan berujung para praktik diskursif yang menyingkirkan mereka yang dianggap "tidak Pancasilais."
Jika kita coba menyederhanakan pendapat Rocky, Budi Hardiman, Daniel Dhakidae, dan Robertus Robert dalam edisi Prisma edisi khusus Pancasila, maka Pancasila di sini berperan sebagai wadah tempat percakapan berlangsung asyik. Kita bisa bilang ini semacam proses permusyawaratan guna meraih hikmah, tapi hikmah itu justru dalam disensus dan proses percakapannya. The joy is in seeking, demikian kata pepatah. Dalam bahasa akademik Barat, kita menyebutnya sebagai demokrasi deliberatif.Â
Terakhir, As'ad Said Ali dalam Negara Pancasila (LP3ES, 2010) mencoba meramu jalan tengah soal kedudukan Pancasila sebagai ideologi. Rumusan Ali adalah Pancasila pada awalnya mesti diposisikan sebagai kesepakatan dasar yang mempersatukan kemajemukan, kemudian bergerak menjadi visi misi bangsa terkait tujuan ideal yang ingin dicapai, sebelum sampai kepada ideologi negara. Per definisi, ideologi negara adalah ideologi yang harus diyakini dan diamalkan warga Indonesia apabila dia masuk ke ruang publik sebagai warga negara. Adapun ia bisa kembali mempraktikkan ideologinya (ex. Ideologi etnis/bangsa) tatkala memasuki komunitasnya sendiri.Â
Diskursus Said Ali ini diperkuat oleh Yudi Latif  (Revolusi Pancasila, Mizan, 2015) tatkala menguraikan bahwa ideologi negara dapat dikatakan sebagai ideologi "integralistik" yang mengatasi partikularitas paham perseorangan atau golongan. Meski demikian, Yudi mengingatkan bahwa meskipun antara wilayah privat, komunitas dan publik itu bisa dibedakan secara kategoris, dalam realitas hidup ketiganya tidak bisa dipisahkan. Ideologi Pancasila memandang bahwa sumber-sumber moral privat dan komunitas (agama, kearifan lokal, dan lain sebagainya) dapat melakukan pengisian dan dukungan terhadap perumusan Pancasila sebagai moral publik. Di sisi lain, Pancasila bisa mencegah secara hikmat bijaksana pengembangan moral privat dan komunitas yang dapat membahayakan kehidupan publik.Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI