Sebagai seseorang yang sudah mengampu mata kuliah Filsafat Pancasila di beberapa universitas selama kurang lebih 14 tahun, saya sering menemukan materi perkuliahan di banyak buku teks mata kuliah Pancasila tentang empat causa (kausa) bagi dasar filsafat negara kita tersebut.
Empat kausa ini adalah cangkokan Prof. Notonagoro dari ajaran filsafat empat causa Aristotelian (berdasarkan ajaran filsuf Yunani, Aristoteles) untuk membedah Pancasila. Sebagian besar buku teks itu memberikan uraian berikut tentang empat kausa Pancasila. Pertama, causa materialis Pancasila ialah hidup kebudayaan dan keagamaan bangsa Indonesia.Â
Kedua, causa formalis Pancasila ialah Soekarno, BPUPKI, dan PPKI.Â
Ketiga, causa finalis Pancasila adalah peruntukannya sebagai dasar filsafat kenegaraan.Â
Keempat, causa efisiennya adalah proses musyawarah mufakat dalam serangkaian sidang BPUPKI dan PPKI tahun 1945.
Sayangnya, uraian umum di atas mengandung kesalahkaprahan. Pasalnya, terlihat ada kerancuan mengartikan causa formalis Aristotelian dengan prosedur formalistis-legalistis ketika Soekarno, BPUPKI, dan PPKI secara historis merumuskan dan menetapkan Pancasila sebagai dasar filsafat negara pada 18 Agustus 1945. Padahal, bukan pengertian itu yang dimaksud Aristoteles.
Jika merujuk pada teori causa orisinal hasil buah-pikir Aristoteles (Kees Bertens, Pengantar Filsafat Yunani, Gramedia, 1995), dalam bahasa mudahnya causa materialis adalah bahan yang menyebabkan sesuatu. Causa efisien adalah penyebab langsung (efisien) yang menimbulkan akibat. Causa finalis adalah tujuan dari produk yang dihasilkan oleh proses sebab-akibat (kausal) yang ada. Dan, causa formalis adalah bentuk (forma) yang dicita-citakan sebagai hasil akhir. Â Â
Beranjak pada teori Aristoteles di atas, maka tepat ketika mengatakan causa materialis alias bahan mentah pengolah Pancasila adalah hidup kebudayaan dan keagamaan bangsa Indonesia. Juga, Â benar ketika menyatakan causa efisiennya adalah proses musyawarah mufakat dalam serangkaian sidang BPUPKI dan PPKI tahun 1945---atau perlu ditambahkan lagi, Soekarno sebagai penggagas awal Pancasila. Bahkan, tepat pula bagi kita untuk mengatakan causa finalis Pancasila adalah sebagai dasar filsafat negara.
Akan tetapi, causa formalis Pancasila yang lebih tepat adalah lima sila Pancasila yang kita kenal sekarang ini. Maksudnya, bukan Pancasila versi awal Soekarno: kebangsaan, internasionalisme, mufakat, kesejahteraan, dan ketuhanan (pidato asli dalam Herbert Feith dan Lance Castles, Pemikiran Politik Indonesia 1945-1965, LP3ES, 1970) yang menempatkan ketuhanan di urutan sila paling bawah. Bukan pula Pancasila versi Piagam Jakarta di mana sila pertama berbunyi Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya.Â
Kekeliruan yang berurat berakar
Maka itu, causa formalis yang disebut dalam banyak buku teks Pancasila itu salah kaprah karena menjadi setali tiga uang atau bisa dimasukkan sekaligus ke dalam causa efisien Pancasila-nya. Bayangkan konsekuensi kekeliruan yang sudah berurat dan berakar ini! Yaitu, para anak bangsa yang duduk di bangku sekolah, kuliah, atau seminar-seminar dan forum-forum ilmiah seakan diajak berpikir ahistoris untuk melupakan fakta bahwa forma alias bentuk Pancasila seperti sekarang ini sejatinya tidaklah datang dengan mudah begitu saja. Melainkan, melalui proses berjenjang pergumulan dan pemikiran rumit serta melelahkan antara para founding fathers bangsa ini.Â