[caption id="attachment_197039" align="aligncenter" width="300" caption=" ILUSTRASI/fanpop.com"][/caption] Apa karena beda kami tak boleh ada? Tanya Kompasianaer Khoirul Anwar dalam sebuah cerpen berjudul sama. Kubaca cerpennya dengan cepat. Pikiranku berklebat. Mengapa manusia cenderung suka kesamaan dan menolak perbedaan? Di mana akarnya? Aku ingin menjawabnya saat ini juga. Tanpa mau berpikir yang terlalu dalam. Cepat dan sigap saja. Yakni, karena manusia ciptaan Tuhan. Ada 'zat Tuhan' dalam diri manusia. Sifat Tuhan adalah esa, tunggal, satu, tidak beranak dan tidak diperanakkan. Sifat 'zat Tuhan' inilah yang menjalar ke sifat ciptaanNya berspesies homo sapiens. Jadi, manusia memang sudah berbakat sok jadi Tuhan...he-he-he. Inilah akar mengapa manusia cenderung mencari kesamaan, ketunggalan, bukan mencari makna lalu merajut pengertian akan perbedaan. Coba dua muda-mudi itu. Iya, itu, yang lagi duduk di taman itu atau yang lagi berasyik masyuk di sudut kafe itu. Coba perhatikan mereka baik-baik. Andai ada waktu wawancarai pasangan yang lagi kasmaran tersebut. Mengapa mereka merasa cocok? Karena banyak kesamaan. Itu jawaban yang umum kutemui. Sedangkan segala ciptaan Tuhan di alam ini pada berbeda-beda. Tidak ada sesuatu pun yang persis sama. Bahkan sesama batu di kali pun mustahil mencari yang persis sama---bentuk, ukuran, warna, pori-pori, dst, sekalipun sama-sama batu. Manusia juga begitu. Bahkan seorang kembar identik pun pasti tidak 100% sama. Ini kembar, apalagi kalau tidak kembar identik. Yang menarik adalah, sebagian manusia cenderung blingsatan dengan perbedaan dari segi agama dan keyakinan. Kalau kita beragama Islam ketemu dengan orang Kristen jadi was-was makan di rumahnya....jangan-jangan kualinya bekas masak babi. Kalau Islam Sunni ketemu dengan orang Islam Syiah atau Ahmadiyah...pikiran jadi menghakimi: ia diluar Islam alias sesat alias kafir. Pikiran yang menghakimi keyakinan keagamaan orang lain demikian merupakan refleksi dari sifat Tuhan yang salah tempat dan salah posisi. Karena yang berhak menghakimi adalah Tuhan dan wakilNya (hakim pengadilan)---jika memakai teori kedaulatan Tuhan. Harusnya, hanya Tuhan yang berhak menghakimi keyakinan keagamaan orang. Adalah lancang merasa agama sendiri paling benar, bersamaan menganggap agama orang lain sebagai sesat, lalu meneriakkannya di ruang publik, bahkan ada yang sampai melakukan represi secara fisik. Suatu refleksi sikap jumawa bahwa ia sendiri yang memiliki Tuhan, kebenaran, dan surga. Dikatakan demikian karena si manusia bersangkutan memposisikan dirinya sebagai Tuhan itu sendiri. Mengapa begitu? Logikanya, jika memang tidak jumawa, ngapain juga dipikirin ke hati sampai emosi gitu ketika ada orang yang berbeda keyakinan agama dengan dirinya. Hak orang mau menafsirkan agama Islam begini-begitu, ikut ulama ini-itu, dan seterusnya. Apa hak orang yang tak sepaham merepresi pihak lain? Memang ada surat kuasa dari Tuhan? Lah, tapi banyak juga homo sapiens yang menikmati perbedaan di sekitarnya. Bahkan perbedaan ekstrim sekalipun, asalkan tidak merampas hak orang lain dan melanggar hukum. Bagaimana menjelaskannya? Inilah homo sapiens yang sebenarnya! Orang yang menggunakan otaknya untuk berpikir (homo sapiens = mahluk berpikir, mahluk bijaksana, mahluk yang tahu). Akal, kata Ali bin Abi Thalib. Itulah kata kunci segala soal.[]