PADANG -- Andai oknum petinggi di kepolisian dan kejaksaan melakukan perlawanan balik pada KPK, ketika korupsi di kedua institusi ini diobok-obok oleh KPK, maka dijamin KPK akan mengalami kesulitan luar biasa. Sebabnya adalah, aparat penyidik dan penuntut yang dimiliki KPK, sebagai ujung tombak KPK dalam melaksanakan kewenangan penindakan korupsi di lapangan, berasal dari institusi kepolisian dan kejaksaan. Nah!
Dengan demikian, KPK ini kewenangannya saja yang super body tapi jurusnya tangan kosong. Malahan menggunakan tangan orang lain, dalam hal ini tangan kepolisian dan kejaksaan, untuk melakukan penindakan. Seklebatan KPK seolah-olah pegang senjata pamungkas, namun hakikatnya ia menggunakan jurus "tangan kosong". Tidak ada senjata di tangan KPK. Yang punya pasukan bersenjata adalah kepolisian dan TNI.
Persoalannya adalah, bagaimana jika KPK mau mengusut korupsi di tubuh kepolisian dan kejaksaan? Seperti saat ini dalam kasus dugaan korupsi pengadaan Simulator Ujian SIM di Markas Korlantas Mabes Polri tahun 2011 dengan nilai Rp.196,87 miliar. Otomatis penyidik KPK akan merasa seolah menelan duri atau "jeruk makan jeruk". Polisi menyidik polisi.
Begitu pula jika tersangkanya adalah oknum jaksa. Sekali lagi "jeruk makan jeruk". Jaksa menuntut jaksa. Karena penuntut umum di KPK berasal dari institusi kejaksaan.
Dari sinilah betapa urgennya menghidupkan kembali ide agar KPK merekrut secara otonom para penyidik dan penuntut umum dari luar institusi yang akan diberantas korupsinya. Kapan perlu direkrut dari para lulusan sarjana hukum di berbagai perguruan tinggi ternama di Indonesia dan dunia. Dididik dan kemudian baru dilepaskan ke medan tempur.
Apakah dengan memiliki penyidik dan penuntut umum sendiri masalah KPK akan selesai? Tidak. Pasti tidak. Terutama karena KPK tidak memilik pasukan bersenjata. Nah, ruang kosong kelemahan inilah yang sebaiknya diisi oleh dukungan politis dari presiden sebagai kepala negara dan dukungan politis dari para wakil rakyat di DPR RI. Dukungan politis demikian sangat penting jika berkaca di semua negara yang berhasil melakukan gerakan pemberantasan korupsi, seperti Hongkong, Korea Selatan, Singapura, Finlandia, dll.
Selebihnya, dukungan publik secara luas.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI