Juru Bicara Komisi Yudisial Asep Rahmat Fajar menyatakan, tidak ada salahnya dengan advokat-advokat yang mendaftar menjadi hakim ad hoc, namun dengan penelusuran rekam jejak yang baik, MA akan memperoleh calon (advokat) yang berkualitas dan berintegritas (KOMPAS.com, 23/8/2012).
Dengan demikian, Asep telah meralat ucapan sebelumnya yang dapat ditafsirkan bahwa advokat yang pernah jadi pengacara tersangka/terdakwa korupsi tidak selayaknya menjadi hakim pengadilan tipikor. Kepada jurnalis, Asep mengusulkan penyempurnaan metode seleksi hakim ad hoc tipikor, pasalnya belakangan tersangka hakim tipikor yang ditangkap tangan KPK ternyata sebelumnya pernah menjadi advokat sejumlah kasus korupsi (Tempo.co, 21/8/2012).
Tak pelak pernyataan Asep tersebut mendapat reaksi dari kalangan advokat. Antara lain di Kompasiana saya menulis artikel bertajuk Denny Indrayana dan Asep "Ngawur". Dengan cepat artikel ini menyebar di dunia maya dan diklik ribuan orang tak terkecuali kalangan advokat.
Musuh pemberantasan korupsi bukan advokat yang menjalankan tugas profesinya berdasarkan undang-undang dan kode etik, pun bukan hakim, juga bukan polisi, dan bukan jaksa. Musuh pemberantasan korupsi adalah korupsi itu sendiri. Dan korupsi bisa terjadi di mana saja, dari institusi sipil negara sampai dunia swasta, termasuk yang utama di kalangan penegak hukum sendiri: oknum polisi, jaksa, advokat, dan hakim. Karena itu, sebaiknya hindari kesan memusuhi aparatur hukum yang sedang menjalankan tugas profesinya sesuai undang-undang dan kode etik.
Harus dipisahkan antara "das sollen" (norma yuridis-teoritis, seharusnya) dengan "das sein" (kenyataan faktual). Penyimpangan dalam dunia profesi (malpraktik) ada di profesi manapun, tidak terkecuali advokat, dokter, jurnalis, apotiker, dosen dan lain-lain. Tidak boleh mendefinisikan suatu profesi berdasarkan perilaku menyimpang oknumnya, melainkan berdasarkan standar normatif aturan yang ada.
Maka, saya katakan bahwa mendefinisikan advokat tidak boleh berdasarkan apa yang dilakukan oknum advokat yang menyimpang, melainkan harus berdasarkan aturan sebagai landasan argumen hukumnya. Sama juga mendefinisikan agama tidak boleh berdasarkan perilaku beragama sebagian umat, misalnya seperti dipertontonkan ormas agama garis keras, melainkan berdasarkan rujukan sumber teks agama yang relevan; atau, mendefinisikan Pancasila dan UUD 1945 tidak boleh berdasarkan apa yang dilakukan rezim Soeharto dulu, melainkan harus mengacu pada teks Pancasila dan UUD 1945 tersebut secara langsung.
Jangan dikira semua advokat yang mengadvokasi kasus korupsi otomatis pro pada praktik korupsi, lantas main sikat saja honor dari sumber apapun walaupun diketahui bersumber dari uang hasil korupsi. Advokat Dr. iur. Adnan Buyung Nasution pernah menjadi pengacara tersangka/terdakwa korupsi Gayus Tambunan. Siapa yang meragukan kredibilitas seorang Buyung.
Gerakan besar pemberantasan korupsi perlu memberi apresiasi pada siapapun penegak hukum yang bersedia mengadvokasi kasus korupsi secara anti-korupsi: anti suap, anti sogok, anti kolusi dan seterusnya.
Adalah sangat berbahaya jika dipukul rata saja setiap advokat yang mendampingi tersangka/terdakwa kasus korupsi otomatis sebagai bajingan pro koruptor atau bahkan koruptor itu sendiri. Kalau begini terus, bisa-bisa kasus korupsi hanya akan didampingi oleh para "pengacara hitam", yang kerjanya main suap dan sogok, yang tentu saja ini sangat berbahaya bagi agenda pemberantasan korupsi itu sendiri.
Kritik berbunyi lebih kurang sama tidak sekedar saya arahkan langsung pada Bung Denny Indrayana dan Asep Rahmat Fajar. Dalam beberapa kesempatan juga saya sampaikan pada para aktivis pemberantasan korupsi seperti teman-teman di ICW. Suatu hari di masa yang lalu, saya pernah berdebat panjang soal di atas dengan Peneliti ICW Febridiansyah.[]
-----------------