Mohon tunggu...
Sutisna Abas
Sutisna Abas Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Tradisi “Likuran” di Ramadhan Sepuluh Hari Terakhir

2 Juli 2016   12:54 Diperbarui: 2 Juli 2016   13:16 85
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

MALAM sehabis shalat tarawih berjamaah selesai, sekitar pukul 20.30 Wib, beberapa anak remaja yang tergabung dalam “Komunitas” Remaja Islam Masjid berkeliling kampung untuk memberitahu warga. Bahwa malam itu adalah malam LIKURAN. Likuran dalam Bahasa Jawa Cilegon - Banten berarti malam Tanggal-tanggal Ganjil; seperti 21, 23, 25, 27 dan 29. Angka-angka itu dibaca dengan kalimat “SELIKUR, TELU LIKUR, SELAWE, PITU LIKUR dan SANGE LIKUR”. Malam tadi adalah tepat malam tanggal 23 / Telu Likur Ramadhan menurut kalender tahun Hijriyah.

Remaja yang berkeliling kampung tadi menyuarakan kalimat yang sudah tidak asing lagi di telinga kami, dan warga sekitar yakni; “ Bapak-bapak, Ibu-ibu, Saiki malem Telu Likur, CULEEEEEM….CULEEEEM….CULEEEEM”. Berulang kalimat itu diucapkan agar mereka yang berada di rumah bisa mendengar dengan harapan banyak warga yang memberikan “Sedekah” berupa makanan atau minuman untuk dibawa ke Masjid dan didoakan bersama-sama Para Sepuh yang sudah menunggu di Pendopo Masjid sambil selonjoran sebelum disantap bersama-sama.

Biasanya, bapak/ibu yang mendengar Uar-Uar tadi akan menanyakan kepada seluruh anggota keluarga. Siapa yang Hari Kelahirannya jatuh pada malam itu, maka disiapkanlah beberapa makanan dan minuman untuk disedekahkan dengan harapan yang bersangkutan diberikan Umur Panjang dan Keberkahan dalam menjalani Kehidupannya. Tidak terkecuali di keluarga kami, saling menanyakan antara anak-anak dan mamahnya. Namun nampaknya di antara keluarga kami tidak ada yang lahir di Malam Selasa kemarin.

CULEM yang disuarakan oleh anak-anak remaja tadi adalah kependekan dari “ munCUL maLEM” atau dimaksudkan kepada mereka yang lahir di malam itu. Entah kapan tradisi ini mulai lahir dan dikenal di kalangan masyarakat Cilegon. Namun yang pasti kebiasaan ini hanya ditemui di bulan Ramadhan dan sudah sejak kecil kami lakukan sampai dengan sekarang di usiaku yang sudah hampir setengah abad ini. Tidak ada yang berbeda kecuali waktu dulu kami keliling kampung dengan membawa obor karena belum ada listrik. Sedangkan sekarang sudah terang benderang tanpa bantuan senter sekalipun.

Tradisi yang perlu dilestarikan agar generasi mendatang tidak melupakannya…..

(Clg,280616)

***

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun