ANOMALI SYAIR PERANG PALEMBANG (SYAIR PERANG MENTENG)
Oleh : HG Sutan Adil
Salah satu hasil karya sastra besar dalam 5 kali Perang Benteng, Perang Maritim Terbesar Abad 17 dan 19 di Palembang, sebagaimana dijelaskan dalam buku saya dengan judul yang sama adalah adanya "Syair Perang Palembang" yang merupakan hasil karya sastra dimasa  pemerintahan Sultan Mahmud Badaruddin (II) Pangeran Ratu atau pada saat Perang Benteng ke-3 dan ke-4, pada tahun 1819 M. Syair atau Puisi Satir ini dibuat dan dipakai oleh Kesultanan Palembang Darussalam untuk meningkatkan jiwa nasionalisme terhadap tanah airnya dan menyemangati Pasukan Palembang dan Rakyatnya dalam menghadapi ancaman serangan dari Kolonialis Belanda yang akan mencoba merebut Kesultanan Palembang Darussalam.
Naskah Kuno yang aslinya tidak berjudul dan juga tidak ada nama pembuatnya ini, masih tersimpan dengan baik di Perpusnas Jakarta, dengan nomor panggil W 272 yang beraksara Arab dan berbahasa Melayu khas Palembang.
Namun sangat disayangkan kebanyakan sejarawan dan budayawan lokal Palembang maupun Nasional saat ini menyebutkannya sebagai "Syair Perang Menteng", yang didasarkankan atas tafsiran Sejarawan Kolonial dan Sejarawan Nasional lainnya, dimana penyebutan kata "Menteng" ini didasarkan atas adanya nama perwakilan kolonialis Belanda di Palembang saat itu, H.W.Muntinghe, yang kalah perang dan kabur ke Betawi atau Batavia untuk meminta bantuan pada saat terjadinya Perang Benteng ke-3. Sehingga terjadi "Anomali" dalam penyebutan Perang Benteng ke-3 dan Syair Perang Palembang ini, sebagai Perang Menteng dan Syair Perang Menteng.
Jarang sekali penyebutan suatu peritiwa heroik dan penuh perjuangan itu disematkan untuk nama orang yang "Kalah Perang" apalagi dari Kolonialis. Kebanyakan penyebutanannya adalah nama lokasi tempat terjadinya perang atau nama tokoh pejuang yang memenangi perang tersebut, misalnya; Perang Diponegoro, dimana perang ini juga dikenal sebagai Perang Jawa. Perang ini dipimpin oleh Pangeran Diponegoro dan yang juga orang Jawa melawan pasukan kolonialis Belanda yang dipimpin Jenderal Hendrik Merkus de Kock, Jadi jelas disini nama perangnya adalah sesuai dengan nama tokoh pejuang atau nama daerah tempat terjadinya perang tersebut, bukan dinamalan "Perang De Kock", sebagaimana yang menjadi lawannya dan Kolonialis itu.
Atau juga Perang Bonjol di Sumatera Barat yang diambil dari nama daerah tempat terjadinya perang  dan juga nama pemuka agama yang memimpin perang tersebut, yaitu Imam Bonjol.
Berdasarkan contoh diatas, sangat tepat sekali, jika perang di Palembang ini  dinamakan sebagai Perang Palembang atau Perang Benteng Ketiga sesuai periodisasi Perang Benteng yang terjadi di Palembang itu, dan Syair atau Puisi-nya juga lebih tepat dinamakan "Syair Perang Palembang", karena saat itu pihak yang memenangkan peperangan tersebut adalah di pihak Palembang, yang dipimpin oleh Sultan Palembang.
Dalam Buku "Syair Perang Palembang" tulisan dari Drs. Atja, terbitan Museum Negeri Propinsi Sumsel "Balaputra Dewa" tahun 1994/1995, yang merupakan peneliti awal dari Syair ini sejak tahun 1961 dan mempublikasikannya pertama kali dalam bentuk stensilan di tahun 1967, juga menyebutkannya sebagai; Syair Perang Palembang.
Berikut ini adalah cuplikan dari pernyataan Drs, Atja dalam buku Syair Perang Palembang tersebut :