Aku berjumpa denganmu atas izin-Nya pada suatu kesempatan di awal Januari beberapa tahun silam. Sebagai orang asing, saat awal berjumpa aku berkenalan denganmu. Semuanya terjalin baik dan kita saling menyapa saat bersua di jalan dan kalu ada kesempatan berjumpa. Semuanya begitu indah aku rasakan.Â
Kamu pribadi yang kujuluk "bermutu". Bagaimana tidak, sepintas aku dapat menilai kamu rendah hati meski banyak kelebihan yang ada dalam diri. Kelebihan yang dimaksud yaitu pintar, pandai memainkan gitar bermelodi  dan penulis novel. Terlepas dari semua itu, yang paling membuatku kagum adalah kamu takut kepada-Nya.
Sejak pertemuan itu, kita  bertukar kabar meski tidak setiap hari. Keyakinan bahwa, "cara terbaik untuk mencintai adalah doa"  membuatku kuat. Aku mencintaimu secara universal paling tidak aku meganggapmu seperti sahabat juga saudaraku, seperti itulah adanya. Bersamamu aku belajar bahwa cinta tak harus memiliki dan cara terbaik untuk mencinta adalah mengingatnya dalam setiap lantuanan doa indah setiap waktu.
Waktu terus berlalu dan kesibukan membuat kita jarang bertukar kabar. Kita berdua masing-masing fokus dengan arah jalan kita yang berbeda, tapi rupanya ini tidak berhasil membuatku melupakanmu. Nama dan bayang selalu nampak jelas di tirai rinduku. Seperti biasa aku cukup mendoakanmu dari kejauhan. Kadang seperti katamu, aku ingin mendaki puncak tertinggi di tempatku untuk dapat memandangmu. Itu ternyata sia-sia dan keputusanku untuk selalu mendoakanmu saat rindu paling tepat.
Kamu, 'lilin' dalam hidupku dan juga pasti dalam hidup setiap orang yang mengenalmu. Lilin dengan cahaya yang membuat orang tidak takut meski dalam gelapnya hidup. Lilin yang memampuakan aku melewati gejolak sang waktu dari waktu ke waktu. Harapku tetaplah terang lilin dan sahabatku. Meski angin sepoi kadang membuatmu redup bertahanlah ingat kami semua membutuhkan terangmu.Â
***
Ruteng, 21/05/2018