Mohon tunggu...
Surya Al Bahar
Surya Al Bahar Mohon Tunggu... Jurnalis - Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Universitas Negeri surabaya

Mahasiswa Universitas Negeri Surabaya, Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia. Aktif di organisasi PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia) Komisariat Unesa dan PAC. IPNU Kecamatan Glagah. Selain itu, kesehariannya sering menulis puisi, cerpen, dan opini untuk konsumsi sendiri dan aktif di beberapa kelompok diskusi, salah satunya kelompok diskusi Damar Asih. Selain di kompasiana, ia juga sering mengabadikan tulisannya di blog pribadinya.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Gelombang Persaudaraan

22 Agustus 2017   21:20 Diperbarui: 22 Agustus 2017   21:45 594
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Kapan hari saya di Surabaya membaca tulisan Emha Ainun Najib yang berisi tentang saudara, sontak saya teringat tentang keluarga dirumah. Keteringatan itu yang paling sering muncul adalah salah satu saudara laki-laki yang setingkat lebih tua satu tahun dari pada saya. saya teringat tentang hal itu ternyata bukan main-main. Sungguh aneh juga jika kalian bisa menganalisis sikap keluarga saya, kakak-kakak saya bahkan saudaraku yang satu ini. Saya mempunyai saudara enam orang, empat laki-laki dengan saya dan dua perempuan. Kalau kalian mempelajari sistem rotasi di dalam keluargaku, pasti disana kalian pasti akan menemukan dua gelombang yang berbeda. Gelombang itu berbentuk sikap, watak, sosial, perilaku, dan jaringan komunikasi. Gelombang yang pertama, satu kakak perempuan dan dua kakak laki-laki.

Konon ceritanya, gelombang pertama ini mempunyai struktur persaudaraan yang teratur baik. Bisa dilihat dari cara mengayominya antar saudara. Saling membantu dan rukun. Meskipun waktu itu umur mereka bisa dibilang masih kecil. Disamping juga dengan keadaan ekonomi keluarga yang berkecukupan, mereka bisa hidup saling pengertian. Masa kecil mereka perselisihan antar saudara sangat kurang. Waktu mereka menginjak dewasa pun mereka cukup disiplin dalam menjaga pengertian. Namun anehnya ada salah satu dari mereka yang tidak mencerminkan sikapnya ketika kecil. Kalau aku ingat-ingat, problem saudaraku itu tidak berasal dari internal keluarga. Keluargaku terkenal keturunan baik-baik. Kalau dilihat dari hubungan sesama keluarga, dia sangat baik dalam mengatur proses kekeluargaannya.

Saudaraku yang pertama ini sekadar bercerita tentang bagaimana sulitnya dia mendapatkan satu batang rokok, kekecewaannya makin menjadi-jadi saat dia mau melamar kerja kemana-mana tidak ada yang mau menerimanya. Kekecawaan seperti itu menurutku sangatlah wajar. Kekecewaan rakyat terhadap pemerintahnya sendiri. Yang menjadi ketidak wajaran yaitu pada saat masalah eksternal dibawa-bawa ke rana internal rumah tangga. Bukan hanya melawan, bahakan dia juga bingung, kalau melawan terus yang dilawan siapa. Dia merasa tidak punya andil dalam mengatur sisitem kenegaraan dalam lingkup usaha negara. Negara tugasnya memberi makan rakyatnya, tapi ini rakyatnya kelaparan kok malah di iming-imingi. Kan aneh negara ini. Rakyat yang tidak bisa membayar listrik kok malah kena denda, kan seharusnya negara turut andil membantu kesusahan rakyatnya dalam bentuk apapun. Tapi rakyat susah kok di denda.

***

 

Akibat kemarahannya pada negara, keluargalah yang menjadi tempat curahannya. Ketika mulutnya yang sudah tak sabar lagi menghisap asap rokok yang sangat-sangat nikmat, dan uang yang tak pernah mau medukung dengan keadaannya. Alhasil barang rumah lah yang dicuri kemudian dia jual. Padahal barang ruamah adalah barangnya sendiri, dari segi yang terkecil dari rumah pun itu miliknya, tapi dia tidak merasa sedikit pun memiliki. Bisa dibilang ini merupakan cerminan sikap penguasa. Ketika uang tidak mencukupi sakunya, materi tidak mencukupi finansialnya dan anggaran tidak mencukupi kebutuhannya, maka barang rumah tangganya sendiri pun dijual nya ke orang lain. Entah aku juga kurang mengetahuinya, mereka sadar atau tidak sudah memakan hartanya sendiri bahkan dia menjual barang itu dengan sadar.

Kebenaran dan kesalahan di suatu tindakan tidak menjadi sebuah analisis mendalam bagi saudaraku. Saya juga bingung menilai dia. Apa yang saya pikir salah, bisa benar menurutnya, sedangkan apa yang saya pikir benar, justru bisa salah atas sesuai dengan konsep berfikirnya. Apa yang terasa benar menurutnya, terkadang bisa salah menurut orang banyak. Itu merupakan suatu perwujudan ketidakdewasaan atau kesalahan bergaul di lingkungan sosialnya.  Memang Allah memberi fadhilah kepada setiap hambanya berbeda-beda. Tidak melebihi siapapun dan mengurangi siapapun.

Selanjutnya yaitu persaudaraan gelombang dua, sama halnya dengan gelombang pertama. Suatu hal yang pertama, seharusnya menjadi cerminan ke suatu hal yang ke dua. Ini berbeda dengan situasi dan kondisi yang saya alami. Saya termasuk berada di gelombang yang ke dua. Waktu yang membedakan antara gelombang ini, waktu lah yang menjadi ciri khas perbedaan di gelombang ke dua ini. Jika di lihat semasa kecilnya, mereka anak yang berada di gelombang ke dua ini, bisa dikatakan persis dengan perilaku gelombang pertama. Contoh sikap tolong menolong dan kerukunan untuk hidup bersaudara. Namun anehnya, entah virus apa yang menyerang di gelombang ke dua. Mereka tidak bisa menjaga tradisi tersebut. Lunturnya sikap persaudaraan, lambat waktu semakin memudar. Mungkin kegengsian itulah yang menyebabkan mereka bersikap individualis.

*** 

Keanehan yang ditampakkan di gelombang ke dua ini sangat begitu jelas, mereka mempunyai tingkat kenakalan yang berbeda-beda. Kalau cerminan dari gelombang ke dua adalah di gelombang pertama. Karena di setiap gelombang, pasti mempunyai satu kordinator yang berbeda. Saya hanya bisa mengambil satu contoh yang paling dominan di antara gelombang dua ini, maksud saya bukan saya merasa lebih baik. Tapi saya mengambil yang paling jelas tampak di lingkungan sosial. Kenakalan disetiap gelombang persaudaraanku ini berbeda, yang pertama, dia tidak bisa membeli rokok, sehingga dia mencuri barang rumah tangganya atau barangnya sendiri untuk dijual ke orang lain, sedangkan yang ke dua ini cukup jelas dan jelas terlihat, karena dia mempunyai barang sendiri dan merusaknya. Aku kurang mengerti maksud dan tujuan dia. Setelah dirusak, kemudian dijual juga, karena dia tidak bisa mengatasinya.

Kelakuan-kelakuan di setiap peristiwa memuculkan banyak pemikiran tentang cerminan tentang permasalahan di lingkungan sekitar. Diamana banyak barang yang sesungguhnya miliknya sendiri malah dirusak untuk kepentingannya. Itulah kehidupan, apa yang kita lakukan, sebenarnya sudah tercemin dalam kehidupan dilingkungan kita. Manusia hanya makhluk yang mencontoh dan meniru. Tinggal bagaimana cara berfikir kita dan cara memilih mana yang baik dan buruk bagi kondisi kehidupan kita secara pribadi. Kadang kejelekan dari kehidupan kita tidak ada orang yang tau, memang hati dan sikap berbeda pandangan jika dilihat konsep nilainya. Perilaku yang menilai adalah sesama manusia sendiri, sedangkan hati atau niat, yang menilai adalah yang mempunyai kuasa untuk mengendalikan dan menciptakan hati. Yaitu Allah SWT. Manusia hanya bisa menutup dari kesalahan kepada manusia, tapi manusia tidak bisa menutupi Allah atas kesalahan yang dibuatnya.

Minggu, 13 Agustus 2017

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun