Pertama kali yang ingin saya katakan untuk mengawali tulisan ini adalah bahwa saya bukanlah seorang financial planner, ahli keuangan, pakar investasi, investor kelas kakap, pakar IT, pemain saham yang brilliant, atau mungkin  mahluk yang kaya raya karena investasi tepat dimasa lampau. Saya hanya tukang plastic yang dulunya sekolah di STM dan kuliah di akuntansi yang punya cita cita jadi wartawan :D.
Baiklah, hari ini entah kenapa FYP diakun tiktok saya isinya kebanyakan mengenai kripto, terutama adegan dimana seorang investor kripto yang cukup terkenal dengan tagline 'mclaren lu warna ap abos?' sedang berada dipanggung dengan dikelilingi beberapa penari latar yang menggunakan penutup kepala, layaknya seorang kepala sekte tertentu.
Dan jujur, saya baru tahu ketika saya menulis ini kalau ternyata itu adalah acara pembukaan akademi kripto yang mungkin dimiliki si pemilik Maclaren itu.
Kripto belakangan memang memiliki pesonanya sendiri, apalagi untuk beberapa jenis, ada yang nilainya naik dengan sangat signifikan. Walaupun sampai sekarang masih belum bisa dijadikan alat pembayaran yang resmi di Indonesia (belum ada aturannya), namun ada yang menggadang gadang kalau kripto akan menjadi alat pembayaran di masa depan. Bahkan dalam potongan video yang beredar. Dalam potonga pidatonya si pemilik mclaren itu menyarankan untuk membeli asset kripto sebanyak-banyaknya.
Aset KriptoÂ
Saya pribadi sebagai orang awam dan memang agak bodoh dalam hal IT dan beginiian nih, melihat kripto sebagai investasi yang sangat beresiko dan bahkan saya kira ini adalah fomo yang mengerikan. Jika kripto disebut sebagai asset, lalu naluri saya bertanya diimana assetnya.
Menurut google, dalam akuntansi dikatakan bahwa asset adalah komponen aktiva tercantum dalam laporan neraca dan dibandingkan jumlahnya dengan passiva (liabilitas dan ekuitas).
Lalu di mana laporan keuangan atas aset-aset kripto tersebut?
Halah, mungkin bagi generasi sekarang yang entah namanya generasi apa, saya ini hanya mahluk kolot, ketinggalan zaman, sok tahu, mahluk jaman batu.
Ya... memang, toh modal saya cuma logika.